Nego

Tahun ini kali ketiga Hide belajar puasa. Tahun pertama lebih banyak bolongnya, tahun kemarin lebih banyak puasanya, dan tahun ini? Semoga bisa puasa satu bulan penuh. Hamdalah 5 hari ini Hide lancar berpuasa.

Dari momen belajar puasa Hide, saya melihat ada progres yang cukup baik tahun ke tahun. Jika dua tahun sebelumnya jam 9 pagi sudah meraung-raung, tahun ini masih ada rewelnya tapi hamdalah gak lama dan gak seheboh yang lalu.

Jika pada tahun-tahun sebelumnya Hide balik berkali-kali ke kasur ketika dibangunkan sahur, tahun ini dia seduh susu sendiri, makan buah, dan kalau lagi melek banget lancar makan sahurnya. 

Meski ada progres yang baik, saya lihat kualitas sahur Hide (dan mungkin kita juga yang dewasa) masih bergantung pada moodnya. Ada kalanya Hide masih harus disuapi dan dibangunkan berkali-kali (tapi sudah gak bolak balik kasur lagi). Pernah juga dia menolak makan nasi (hanya ngemil buah, minum susu dan air bening) dengan alasan “Kakak pengen tau kakak kuat atau ngga kalau ga makan nasi.. ” gubrakk. Hamdalahnya kuat dan gak pakai rewel karena dia sadar itu pilihannya. Nah kemarin, setelah minum susu Hide tidur lagi (karena ngantuk, bukan karena pilihannya) dan kembali mogok makan nasi. Saya bangunkan sambil berusaha menyuapinya. Saya bilang “Ayo 10 suap aja kak..” Akhirnya Hide mau bangun sambil bilang “lima suap aja,” deal. Daripada gak masuk sama sekali. Setelahnya ia minum air putih seteguk dan kembali tidur.

Siangnya? Nah, sepulang sekolah pukul 10 dia mulai lapar dan haus. Saya coba alihkan perhatiannya. Hide lalu coba telpon ayahnya di kantor, tapi ternyata ayah sedang rapat. Lalu ia kirim sms ke ayah dan saya geli juga baca pesan dia. Jadi dia berusaha nego dengan mencegah bilang “mau buka” dengan bilang “mau sahur lagi” Hehe, Nice try kid. Hamdalahnya sukses sampai maghrib. Semangat terus ya Kak, insya Allah berkah 😊

Suatu Senja di Beranda Rumahmu #3

Aku menunggu kau duduk di samping ayahmu sebelum kembali duduk di kursi.

“Kamu sehat?”

Kau bertanya sambil menunjuk cangkir teh agar aku meminumnya.

Aku mengambil cangkir terdekat lalu meneguk airnya sedikit.

“Enak.”

“Pendapat yang aman,” ujarmu tertawa. Tawa yang sudah lama ingin kudengar.

“Serius ini enak, manisnya juga pas,” kataku.

“Iya, Aini sekarang sudah banyak di dapur. Sudah sering gantikan Mamanya menyeduh kopi  buat Om,”  ayahmu menambahkan sambil terkekeh.

Kau tersenyum tipis.

“Aku sehat, alhamdulillah. Hanya flu sedikit,” ujarku teringat pertanyaanmu tadi.

“Aini sekarang mengajar SD, Arsyad. Setiap pulang ada saja cerita tentang muridnya,” ujar ayahmu.

“Iya, seru Syad. Kadang happy kadang keki, tapi lebih banyak happynya,” tambahmu.

Kita terlibat perbincangan santai senja itu, seperti di masa lalu jika aku bertandang ke rumahmu. Dulu aku terbiasa ikut forum bicara keluargamu. Kadang bertiga seperti sekarang, kadang dengan ibumu, kadang lengkap dengan Kak Irna dan  Bagas. Kali ini kita berbincang tentang kamu, tentang aku, tentang keluargaku, tentang akuarium ayahmu, tentang pernikahan Kak Irna, dan banyak lagi. Begitu asyik sampai aku kehilangan semua gugup yang awalnya ikut serta.
Matahari hampir terbenam saat akhirnya aku memutuskan untuk segera mengutarakan tujuan utamaku datang sore ini.

“Om, apa Aini sudah ada yang melamar?” Aku bertanya sesantai mungkin. Ini penting kutanyakan, karena aku tidak bisa meminangmu jika sudah ada yang meminang lebih dulu.

“Ada,” jawab ayahmu.

Aku mulai patah arang, sebisa mungkin tetap kukontrol ekspresiku.

“Tapi sudah dijawab. Aini tidak bisa menerima pinangannya. Sudah dua orang yang datang, katanya masih kurang pas dan belum cocok jadi imamnya,” ayahmu menjawab sambil menepuk pelan pundakmu.

Kau tampak termangu, tidak berminat menambahkan perkataan ayahmu.

Aku diam sejenak. Kembali menyusun kata yang tadi malam sudah kulatih dalam benak.
“Bismillah, Om, maaf jika terkesan mendadak. Jika Om ridha, Arsyad ingin menikahi Aini,” kataku mantap sambil menatap wajah ayahmu yang tampak sedikit terkejut.

Kau tersenyum tipis, tidak tampak terkejut, seperti sudah mengantisipasi (atau menunggu?) momen ini lima tahun lamanya.
Ayahmu cepat mengendalikan diri lalu berkata “Kamu bersungguh-sungguh Nak?”

“Insya Allah Om.”

Ayahmu menimbang sejenak, lalu menatapmu. Saat itu aku menyadari matamu berkaca-kaca.

“Hal pendamping hidup, Om serahkan semua pada Aini. Tentu Om Tante beri masukan. Hmm ya, dan tentang kamu Arsyad, puji syukur Om telah mengenalmu lama, Om kenal keluargamu juga. Jadi ibaratnya sudah lulus sensor dari Om. Biasanya tante juga sependapat dengan Om. Yah jadi sekarang semua ada pada Aini.” Ah, ayahmu memang luar biasa. Lelaki yang sangat suportif dan bijaksana.

Kau terdiam. Kali ini lebih lama dari jeda lima tahun lalu. Aku memilih untuk tidak menatapmu, menunggu apapun yang akan kau ucapkan. Sejujurnya perasaanku tak menentu, kau seringkali tak terduga.

“Beri aku waktu,” akhirnya kau bicara.

“Mungkin pekan depan ya Arsyad bisa datang lagi, Aini?” Ayahmu menyuarakan pertanyaanku.

“Besok. Aku beri jawabannya besok,” katamu tenang.

“Baik, silakan kembali besok ya Arsyad. Aini, pikirkan baik-baik sayang, sertakan Yang Maha Tahu dalam ambil keputusan,” ayahmu berujar sambil tersenyum.

Esoknya, aku sedang bersiap berangkat ke rumahmu untuk menjemput jawaban ketika dari balik jendela kulihat kau dan Bagas memasuki halaman rumahku. Seperti biasa, kau memang tak terduga. Kau mengucap salam, aku mempersilakan kau dan Bagas duduk di beranda.

“Aku ke dalam sebentar,” ujarku, tiba-tiba bersemangat menyeduh teh lagi untukmu setelah sekian lama.

Saat aku kembali ke beranda, Bagas sedang asyik membolak balik majalah dari rak gantung. Ah, aku segera tau. Bagas hanya menemani, kau yang akan bicara pada jumpa kali ini.

“Seru majalahnya, Gas?” Tanyaku menggoda Bagas sambil menuang teh ke cangkir.

“Harus dibikin seru, pesan dari Bos Aini aku mesti sibuk sendiri,” kita semua tertawa.

Lalu, aku memilih diam, menunggumu membuka percakapan. Tapi kau tak kunjung bicara. Akhirnya aku bertanya.

“Ada apa? Aku baru mau jalan ke rumahmu.”

“Aku hendak membalas kunjunganmu kemarin. Silaturahim.”

Kau mulai bermain kata.

“Oke, terima kasih atas kunjungan baliknya. Apa ada sesuatu yang ingin disampaikan. Sesuatu yang semacam jawaban atas sebuah pertanyaan?”

Kau tertawa kecil.

“Aku sudah istikharah. Aku rasa jawabannyaa, hmm aku bersedia,” ujarmu pelan.

Aku hendak melonjak tapi tidak ingin buru-buru senang.

“Bersedia untuk apa?”

“Untuk dibuatkan teh enak setiap hari,” ujarmu sambil mengambil cangkir​ teh di hadapanmu.

Aku tak bisa menyembunyikan senyumku.

“Oh aku bisa membuatkan teh enak setiap hari, kan kita bertetangga,” entah mengapa aku ingin mendengarmu berujar sesuatu tentang menjadi istri atau pendampingku.

Kau mengerti keinginanku sehingga kau malah bertanya “Kedatanganmu kemarin, untuk memintaku jadi apa?”

“Jadi istri..”

“Ya, aku bersedia untuk itu,” kau menghindari mataku saat mengatakannya, tapi senyum tak lepas dari wajahmu.

“Alhamdulillaaah..” Bagas menyuarakan syukur tiada taraku.

“Karena kau pernah bilang padaku lima tahun lalu dan masih datang lima tahun kemudian, aku ingin menjawab langsung padamu. Kau tetap temui Papa untuk jawaban resminya ya, ditunggu di rumah,” kau menghabiskan teh di cangkirmu, lalu pamit bersama Bagas.

==================================

Lima hari lagi adalah waktunya. Hanya Yang Maha Baik dan aku yang tau bagaimana aku menunggu sakinah mawaddah dan hari-hari penuh rahmah bersamamu. Selama persiapan pernikahan, kita hanya sesekali berbincang, sebagian karena kesibukan, sebagian karena aku ingin lebih menjaga hati dan perasaan. 

Santai Arsyad, biarkan mengalir. Akan tiba waktunya kau dapat sejadi-jadinya bercerita dan bertanya, berbagi dan menjaga. 

Tapi kali ini aku teringat akan pesanmu waktu itu, yang bagiku, kini menjadi lucu. Tentang aku yang akan nomor satu kau beritahu jika kau akan menikah. Maka kuhubungi kau via WhatsApp.

Sampai jumpa di Aula Buya Hamka, Aini.

Suatu Senja di Beranda Rumahmu #2

Lima tahun berselang

Aku tiba lebih dulu di tanah air. Keluargaku masih di Berlin, mengurus beberapa hal terkait kepulangan dan akan tiba di Jakarta pekan depan. Aku mohon restu ke ayah ibu bahwa ada hal terkait masa depan yang menanti jawaban lima tahun belakangan. Kamu.

Apa kabarmu? Cukup lama kita tak bertukar kabar, hanya sesekali menyapa di WhatsApp dan media sosial yang jarang kau perbarui. Ah ya, kau sudah berhijab ya, kau tau aku sujud syukur di arena futsal ketika mendengar kabar itu. Kau benar, aku berubah. Tapi tidak perasaanku padamu. Perasaan yang ada sejak SMP kelas tiga ketika kita akhirnya selalu bertemu di angkot yang sama menuju sekolah. Saat itu akhirnya aku tau kalau kau adalah tetangga baru.

Dan kini langkahku terhenti di depan rumah Pak Husin, tetangga kita. Aku gemetar. Janur kuning melengkung di depan rumahmu. Tiba2 aku teringat perkataanmu senja itu ”

Kau dapat tanyakan lagi saat kembali nanti. Jika masih berminat. Jika janur kuning belum melengkung di depan..

Aini, mengapa kau tega.. Hatiku bergemuruh dalam perjalanan kembali ke rumah. Memang kau tidak berjanji menunggu, tapi tak tahukah kau rasaku padamu tak kenal ujung?

Tiba di rumah, dengan tergesa kukirim pesan untukmu via WhatsApp.

Jantungku berdegup kencang. Mengapa kau begini santai? Mataku berair, kutenangkan diri sebelum kembali membalas pesanmu.

Tak kujawab pesanmu. Aku terlalu hancur. Kuambil wudhu, lalu shalat demi ketenangan hati.
Usai shalat pintu rumah diketuk. Bagas, adikmu.

“Bang Arsyad sudah kembali ya? Ini ada undangan untuk pengajian nanti malam, datang ya Bang.”

“Bagas, siapa calon Aini?” Aku menahan Bagas sebentar.

“Belum ada,” Bagas menjawab dengan cengiran.

“Loh besok menikah kan?”

“Kak Irna yang besok menikah Bang.”

Aku tersenyum kelewat lebar menyadari betapa dungunya aku. Begitu cepat kuambil kesimpulan tadi. Kini, rasanya lega luar biasa. Tapi aku urung menemuimu. Entah mengapa aku ingin menenangkan diri, kembali menata hati.

Kau kirim pesan malam harinya. Maaf tak kubalas pesanmu.
Esoknya aku datang bada shubuh ke rumahmu. Aku tahu kau pasti sedang sibuk, dan aku belum ingin menemuimu. Kupanggil Bagas, hendak bicara sebentar dengan ayahmu.

“Om, maaf Arsyad belum bisa hadir di acara Kak Irna. Ayah Ibu juga mohon maaf, baru tiba Selasa depan. Ini ada sedikit buah tangan dari Berlin, semoga lancar ya Om.”

Ayahmu tersenyum. “Masuk Nak, lama tak jumpa. Ayo minum teh sama Om, masih ada lima belas menit sebelum berangkat. Om panggil Aini ya.”

“Arsyad harus segera pergi Om, tapi kalau boleh besok Arsyad mau ngobrol sama Om, apa Om masih sibuk?”

“Oh ngga sibuk, ini kan acara di gedung. Nanti malam juga sudah bisa istirahat. Oke, besok datang ya, Om tunggu.”

Aku berangkat, menuju masjid At Taawun di puncak. Hendak istikharah dan berpasrah, sebelum esok sore menemui ayahmu. Aku ingin mendapat ketetapan hati, bukan karena sejak dulu menyayangimu, tapi karena Ia ridha akan pilihanku.
Dan kini, senja ini, aku kembali berdiri bersandar di tiang beranda rumahmu. Ayahmu keluar dari pintu depan,

“Duduk Nak,” ujarnya.

Aku duduk di kursi kayu berhadapan dengan ayahmu. Kami mengobrol santai membahas kabar ayah ibu, juga aktivitasku. Lalu, setelah sekian lama, aku melihatmu. Hadir di beranda dengan jilbab biru muda. Memacu jantungku lebih cepat dari biasa.

“Giliran aku yang buatkan teh. Tolong jangan berharap banyak tentang rasanya.” Ujarmu santai sambil meletakkan tiga cangkir teh di meja. Aku berdiri dan sekilas kita bersitatap.

Suatu Senja di Beranda Rumahmu #1

Kau duduk santai di kursi kayu, menikmati secangkir teh yang baru kubawa dari dapurmu sore itu.

Aku berdiri bersandar di tiang beranda, menatapmu yang segera membalas tatapanku.

“Seperti biasa, teh paling enak se-Cibinooong. Mestinya aku yang buatin kamu ya,” ujarmu sambil tersenyum.

“Gak perlu repot, lebih enak buatanku.”

Kau tertawa setuju.

“Jadi berangkat besok sore?” Tanyaku berharap kau menggeleng, tapi kau malah mengangguk pelan.

“Hanya tiga malam. Gak perlu rindu-rindu amatlah,” katamu jenaka.

“Diusahakan” Padahal meski dicoba, mana mungkin aku tidak rindu. Tiga malam katamu, artinya kau tidak akan melepasku ke Bandara, lusa pagi.

“Kangen Jogja banget, nanti aku mau ke Pak Jamal. Ah, kapan-kapan kesananya bareng ya. Lebih seru nostalgia rame-rame.” Ujarmu bersemangat.

“Iya..” jawabku gamang.  Akhirnya kau menangkap keanehanku. Kau tidak bertanya, hanya menatapku lama.

“Lusa pagi aku ke Berlin. Ikut ayah. Ayah ditempatkan di sana.”

Tidak ada kata yang terucap dari bibir mungilmu. Hanya, matamu menghindari tatapanku, sibuk menekuri cangkir teh dalam genggaman.

“Maaf baru bilang. Kabarnya sudah dari akhir bulan lalu, tapi aku selalu urung bilang ke kamu. Aku.. Aku gak siap kita berpisah beberapa tahun ke depan.” Ini pertama kalinya secara verbal aku memberi isyarat bahwa kau signifikan bagiku.

“Kalau kamu bilang lebih awal, aku akan minta Lina gantikan aku presentasi di Jogja,” akhirnya kau bersuara.

“Maaf.”

“Untuk pergi bertahun-tahun, Syad, gak habis pikir aku,” dan kini kau tunjukkan kecewamu.

Aku menghindari matamu. Rasa bersalah menyergap. Apa tepat jika kuutarakan sekarang? Pertanyaan untukmu yang telah lama kusimpan.

“Hanya dengan ayah?” Akhirnya kau bicara.

“Iya, Ibu akan menyusul, menunggu Kirana tamat SMA tahun depan.”

Lalu kembali sunyi, aku kembali membaca situasi.

“Aini,” keberanianku akhirnya terkumpul.

Kau tidak menjawab, hanya saja matamu mengunci pandanganku.

“Tunggu aku?”

Kau masih belum menjawab, wajahmu penuh tanya.

“Balik dari Berlin nanti aku mau menikahimu.”

Kau tampak terkejut, meletakkan cangkir tehmu, lalu tertawa kecil.

“Serius,” ujarku pelan. Kau menatapku cepat sebelum mengalihkan pandanganmu ke rimbun mawar di pekarangan.

Lima menit tanpa kata. Aku menunggu jawabanmu.

Ada getar pada suaramu saat akhirnya kau berkata. “Aku tak akan menunggu.”

Sesak menjalar di dadaku.

“Syad.. Terima kasih niat baiknya ya. Perasaan aku ke kamu adalah rahasia, gak akan aku bilang di sini, saat ini. Kita teman baik, Syad, kalau berjodoh bisa jadi teman hidup. Tapi apapun dapat terjadi. Aku yang berubah, kamu yang berubah, atau mungkin perasaan kita yang berubah. Aku tidak ingin kau berjanji dan tidak dapat menjanjikan apapun. Bagiku janji yang sejati dalam hubungan laki-laki dan perempuan ada pada ijab kabul.”

Hei, aku tak pernah tau sisi dirimu yang ini. Kita begitu dekat tapi aku tak tau kau memegang prinsip demikian. Pelan kutata hati dan kucoba mencairkan suasana.

“Gak nyangka,” kataku mencoba tersenyum.

“Aku juga ga nyangka bisa bilang itu,” katamu sambil tertawa.

“Jadi malu nih sudah jujur banget,” tambahku sambil menutup muka dengan telapak tangan.

“Hahaha aku juga malu Syad kau bilang itu. Jarang-jarang situasi kita syahdu gini. Yang pasti akan sepi sekali saat kau di Berlin, tapi aku akan terbiasa,” kau ambil jeda sebelum melanjutkan “Kau..”

“Ya?”

“Kau tetap bisa tanya itu saat kembali nanti. Jika masih berminat. Jika janur kuning belum melengkung di depan. Barangkali aku ditakdirkan minum teh enak setiap hari,” ujarmu dengan mimik lucu.

Aku mengaminkan. Dalam hati sibuk menebak-nebak. Apakah saat ini aku cukup signifikan untukmu?

“Besok kuantar ke Gambir ya,” ujarku sambil bersiap pamit.

“Oke, ajak Kirana yaa.”

Aku mengangguk lalu pamit. Kau bangkit dari duduk lalu mengantarku sampai gerbang, menyaksikanku berjalan gontai seratus meter menuju kediamanku.

Kondusif

Gambar di bawah tulisan ini merekam sebentuk suasana pada Wisuda TK Kakak Hide. Saat foto ini diambil, Taka sedang main jungkat jungkit tak jauh dari Ayah, Hide, dan Hiro duduk. Ayah dan Hiro sedang memperhatikan penampilan siswa mungil di panggung. Hide? Itu dia lagi bete. Dia ingin jajan snack tapi belum disetujui karena baru saja jajan beberapa menit sebelumnya.

Ketika melihat foto ini saya ingat kalau situasinya saat itu sedang kurang kondusif. Cuaca panas, anak-anak dan orang tua lalu lalang, Hiro mulai tidak betah digendong, ingin merangkak bebas. Hide yang lagi bete, moodnya kurang baik sepanjang pagi. Taka jadi juara mood baik hari itu. Ia main dengan ceria, makan lagi dan lagi (khas Taka), dan dengan PD Join Bareng naik panggung pada beberapa penampilan. 

Yang ingin saya bahas sebenarnya bukan peristiwa hari itu. Tapi tentang beberapa kali kami melewati situasi-situasi tidak kondusif ini. Sejak awal menikah beragam kondisi kami alami. Peluh demi peluh, duka juga suka, tangis lalu tawa. Kepanasan dan kehujanan. Marahan lalu baikan. Tidak semuanya kondusif untuk berlaku romantis atau menunjukkan cinta kasih seperti roman yang biasa saya baca. Karena ternyata hidup begitu nyata. Mengalir apa adanya. Setiap hari kita bergumul dengan situasi yang tidak selalu kita kehendaki. Apa yang sekilas terlihat dari jumpa sesaat atau gambar di media sosial kadang tidak cukup menjadi bahan kesimpulan tentang situasi sebenarnya. 

Saya bersyukur tentang adanya kemudahan pada setiap kesulitan. Sehingga, meski terkadang situasi tidak kondusif dapat membuat ilfeel atau memancing emosi, kami akhirnya akan melaluinya. Jeda sejenak dapat melunturkan penat. Selalu harus berpegangan lebih erat kala badai menerpa, kata Sang Nahkoda. Lalu saling mengingatkan bahwa kita bersama bukan untuk menyerah pada situasi, kondisi, atau pada satu sama lain.

Apa yang Kau Bawa?

Baru saja diingatkan Facebook tentang tulisan umi sebulan sebelum kepergiannya, tentang kematian.

Lalu, berkelebat lirik nasyid yang saya dengar ketika kecil, dari Suara Persaudaraan kalau tidak salah

Berbekallah untuk hari yang sudah pasti

Sungguh kematian adalah muara manusia

Relakah dirimu menyertai segolongan orang

Mereka membawa bekal sedangkan tanganmu hampa”

Pagi ini rasanya lirik ini ngena banget, sampai sesak. Saya benar-benar tidak tahu bekal apa yang jadi andalan saya. Sungguh belum cukup, Rabbanaa.

Padahal ia datang tanpa kau duga, kapan saja di mana saja. Mengapa tidak senantiasa kau bersiap, Kar? 

Terkenang Umi (lagi).

Mei 2011. Kami yang kala itu berdomisili di Jogja sedang di Jakarta untuk kepentingan studi. Sabtu jelang shubuh, hp suami berdering. Saya ikut terbangun, dari nada bicaranya ada sesuatu yang genting. Percakapan selesai, saya bertanya. “Ada apa?” Suami diam. Perasaan saya mulai tidak enak. “Tadi siapa yang telpon?” Suami masih diam panjang sebelum akhirnya berkata. “Tadi Mbak Tuti. Umi kecelakaan, sekarang koma.” Sendi-sendi seperti lepas, saya lemas. Entah mengapa saya teringat ibu, mertua yang sempat koma sebelum Allah memanggil. “Kamu bangunin adik-adik ya, shalat shubuh, doa untuk umi,” kata suami.
Mba Tuti adalah ART yang baru resign karena menikah, dan baru saja pukul 22 malam itu umi hadiri pernikahannya di Bumi Jawa, Tegal. Sambil mencerna semuanya saya naik ke lantai atas, pertama kali ke kamar Salma. Yang saya dapati Salma sedang menangis sesenggukan. Perasaan saya makin gak enak. “Kenapa mah?” “Bang Olah (Sholah) udah gak ada.” Air mata saya langsung meleleh. Umi koma, Sholah sudah gak ada? Pikir saya saat itu. Ternyata Salma salah info, Sholah yang pada saat kejadian memegang kemudi hamdalah selamat. “Kamu shalat dulu.” Adzan Shubuh berkumandang. Saya lalu membangunkan adik-adik yang lain, meminta mereka turut mendoakan umi. Tak lama saya kembali mendengar Salma menangis lebih kencang, saya menghampirinya. “Kenapa?” “Umi udah gak ada.” “Kata siapa?” “Kata Mbak Effie” Mba Effie adalah sekretaris pribadi Umi. Saya menggeleng, air mata kembali mengalir. Reaksi yang saya kira hanya ada di sinetron terucap dari mulut saya. “Bohong. Mba Effie salah kabar kali Mah. Umi koma kok, masih mungkin sembuh kok. Bohong kan mah?” Salma masih terus menangis.
Di depan rumah, tetangga berdatangan. Rupanya broadcast tentang umi koma sudah menyebar. Saya menjawab tetangga dengan ketidakpastian. Dalam benak saya saat itu Salma dapat kabar yang salah, saya (astaghfirullah, saat itu sulit sekali percaya padahal sudah Qadarullah) masih belum yakin akan kepergian umi. Sekitar pukul 7 pagi saya baru benar-benar percaya bahwa umi sudah tiada ketika suami bicara langsung dengan ikhwah yang mengurus jenazah umi di Cirebon.

Saya sungguh mengagumi beberapa orang yang dapat cepat pulih dari keterkejutan. Karena saya merasa kesulitan. Saat itu saya linglung, tidak tahu apa yang harus dilakukan padahal saya (si anak ketiga) dan suami menjadi yang paling besar di rumah. Abi dan abang pertama mengalami kecelakaan yang sama dengan umi, saat itu masih dirawat di RS Mitra Plumbon. Abang kedua masih di Sarajevo menunggu wisuda yg rencananya akan umi hadiri. Saya tidak terpikir untuk menelpon adik-adik saya yang di pesantren dan di Depok. Bahkan abang saya yang di Sarajevo mengetahui kabar itu dari temannya yang mengakses Facebook 😭. Tiba-tiba saja adik-adik sudah kumpul di rumah, tenda sudah terpasang, kursi-kursi ditata, tetangga, murid-murid, dan kawan-kawan umi bahu membahu membantu. Tim dokumentasi DPP menanyakan kesiapan saya untuk diwawancara dan saya hanya menggeleng (padahal video dokumentasi itu nantinya sangat berharga dalam merekam momen itu). Seorang teman yang bekerja di media cetak juga datang, hendak bertanya tentang kejadian itu tapi saya belum bisa menyanggupi. Beberapa kawan datang, saya berterima kasih sekali dengan kehadiran mereka, sangat berarti meski saat itu saya menjadi tuan rumah yang banyak meninggalkan tamunya.

Sekitar pukul 10 ambulans yang membawa jenazah umi datang. Takbir menggema saat jenazah dibawa ke rumah. Saya remuk tiada bentuk, tangan saya memijat kaki umi yang sudah dingin “Mi, maafin Kakak.. Mi, Kakak jarang banget mijitin umi padahal umi capek banget tiap hari.” Saat itu berkelebat momen-momen terakhir bersama umi berikut rasa sesal mendalam atas banyaknya salah saya ke umi. Tak lama saya ikut memandikan jenazah umi. Wajah umi tenang sekali seperti sedang tidur. Hati saya bergumam, “Bangun Mi, bangun..” tapi makin lama jasad umi semakin kaku.
Beberapa hari setelah kejadian saya baru mendengar kronologi kejadiannya. Usai menghadiri wisuda Bang Umar di Jogja, umi mampir silaturahim ke Magelang, menjenguk Uyut, neneknya abi. Lalu abi mengajak umi naik pesawat agar cepat kembali ke Jakarta. Umi menolak karena sudah janji akan menghadiri pernikahan Mba Tuti. Agak larut tiba di Tegal, rombongan​ akhirnya kembali ke Jakarta. Ayyasy bilang sebelum semua tidur, umi bercerita tentang kematian, tentang Malaikat Maut. Tak lama semua terlelap. Dini hari, Pak Hanafi mengantuk sehingga Sholah mengambil alih kemudi. Kecepatan stabil meski cukup tinggi. Lima menit setelah Sholah ambil kemudi, ada tikungan tanpa penerangan yang sulit diantisipasi. Mobil menyerempet beton tepat di bagian umi duduk, kursi tengah kiri. Tempat favorit umi, tempat umi biasa mengaji. Semua terkejut. Umi tersungkur, jidatnya membentur. Darah segar mengalir, abi sempat memperbaiki posisi duduk Umi. Umi berkata “Anak-anak umi gimana? Sholah selamat gak?” Umi kira, Sholah yang mengemudi mengalami kondisi paling parah, padahal sebaliknya. Sholah hamdalah baik-baik, ia yang memberi kabar kepada keluarga. Warga setempat berkerumun di sekitar mobil. Bang Umar yang saat itu juga ada di mobil bercerita pada saya. “Ternyata yang paling parah Umi, Umi duluan yang dibawa ambulans. Aku terguncang. Umi ngomong, Bi, Anak2, kayaknya Umi sampai disini deh, Umi mau meningggal.”
Abi bilang ke umi “Istighfar Umi.” “Astaghfirullahal adzim” Lalu abi tersentak karena berpikir mungkin ini memang waktunya buat umi. “Nyebut umi..” Umi lalu melafalkan kalimat syahadat. Bang Umar dan Ayyasy bilang “I love you Umi..”
Menurut tim medis, umi berpulang setelah 10 menit sampai di rumah sakit.

Pada hari umi berpulang saya seperti belum merasa bahwa umi telah pergi. Duka baru amat terasa pada hari-hari setelahnya. Sering terkenang semua tentang umi, sejak saya kecil. Ingat umi yang tanpa jeda mengandung dan menyusui putra-putrinya selama 20 tahun. Ingat umi yang mengajarkan nama-nama surat dalam Quran, membuat saya bisa membaca koran dan Quran di usia ke empat. Umi yang senantiasa mengaji, mendendangkan lagu-lagu perjuangan dan lagu-lagu Palestina. Umi yang saat kami masih kecil membawakan oleh-oleh permen dua butir sepulang mengajar, membuat kami begitu buncah. Umi yang membiarkan kami mandi hujan dan menyuguhkan susu hangat setelahnya. Umi yang menjahitkan baju lebaran saya, yang membuat bolu kukus dan kue sarang semut saat agendanya belum sepadat masa-masa akhir hidupnya. Umi yang setiap Shubuh membangunkan kami, mengajak shalat berjamaah lalu bercerita kisah rasul dan sahabat. Umi yang pada malamnya bercerita tentang si Ahmad, sebagai dongeng sebelum tidur. Umi yang jadi polisi di meja makan, harus sarapan minimal 10 suap jika ingin dapat uang jajan. Umi yang memeluk saya di milad ke 6 saya sambil bilang “Hadiahnya umi peluk dan sun dulu ya Kak, doakan rizki kita semakin lancar.” Umi yang tidak marah saat saya kabur karena terlalu lama dijemput, umi hanya ajak saya bersih-bersih dan balurkan minyak kayu putih. Umi yang tergopoh-gopoh menghampiri begitu mendengar teriakan saya saat dicakar kucing. Umi yang tersenyum lemah setelah melahirkan, saat saya datang menengok, umi bilang “Adiknya mirip siapa Kak?” Umi yang mengeluarkan receh dari tas kumalnya saat abi dinas lebih dari sebulan dan kondisi sedang pas-pasan. Saat itu anak umi dan abi sudah sepuluh. “Kita shalat sama-sama lalu berdoa agar dapat rizki yang berkah ya.” Umi yang diam-diam menangis saat saya pertama kali masuk pesantren. Umi yang sempatkan jenguk kami, kadang dengan angkutan umum, ke Anyer, ke Gontor, ke Kudus, ke Gunung Sindur di tengah padat aktivitasnya. Umi yang meyakinkan saya untuk menikah muda. “Selalu ada jalan untuk kebaikan Kak.” Umi yang berdiri di depan pintu kontrakan kami di Jogja, membawa buah dan bahan masakan, 10 jam setelah saya bercerita “Tadi malam kakak mimpi umi ke Jogja.” Umi yang sholihah, hafizah, qaanitatulil ghaib. Umi yang begitu banyak memberi tapi belum banyak menerima dari kami. Umi yang sayang kami dan sangat kami sayangi.

Rabbanaa​, ampuni umi kami, lapangkan kuburnya, perkenankan kami berkumpul dengannya di taman syurgaMu. Aamiin.