Usai

Mala mengunci pintu unit apartemennya tergesa. Sudah pukul 5 pagi, biasanya Arbi selalu tepat waktu. Mereka janji bertemu sebentar di Kedai Kopi Tower Milan, sebelah Tower Paris tempat Mala dan Arbi tinggal. Pertemuan yang rutin mereka atur setiap Senin pagi. Waktu ini Arbi pilih sebab setiap Senin, Widya istrinya keluar belanja lebih siang, sibuk menyiapkan kudapan untuk Naufal dan teman-teman sekelasnya.

“Semoga Arbi suka kue buatanku,” batin Mala ketika sudah di dalam lift. Jantungnya berdebar karena senang juga gelisah. Perasaan yang selalu menyertai setiap akan bertemu Arbi.

Pada lantai 15 pintu lift terbuka. Lantai tempat Arbi tinggal. Ah. Sosok yang Mala kira sudah di Kedai Kopi ternyata masuk ke Lift yang sama dengannya. Mala tak dapat menyembunyikan senyumnya.

“Eh Hai,” Arbi menyapa. Kali ini datar, tidak seramah biasanya.

“Hai, aku kira kamu udah di Kopiku.”

“Belum, tadi cari-cari sepatu ternyata diumpetin Nara. Penuh bedak pula,” Arbi menunjuk sepatunya yang diselimuti bedak tipis.

“Ya ampun Nara si gemes. Aku bersihin ya,” Mala berpura-pura menyukai anak bungsu Arbi.

“Gak usah, tadi Widya juga udah mau bersihin tapi aku kan buru-buru. Akhirnya dibawain tissue basah, nanti di Gocar aja.”

Mendengar nama Widya, senyum diwajah Mala pupus. Nama yang ingin sekali disingkirkannya dari hati Arbi.

“Aku bikinin kamu kue. Lumayan nih buat bagi-bagi temen kantor kamu. ”

Arbi tampak tak menyimak. Ia menatap pintu lift dengan gamang.
.
“Arbi? Hei,” Mala menyodorkan kotak kuenya.

“Mala, maaf. Kita selesai ya. Sampai di sini saja,” Arbi menghela nafas pelan.

Mala tercekat. Ia melepas kotak kue ditangannya dengan sengaja. Arbi, kamu bilang kita akan happy ending kan? Kita pada akhirnya akan terus bersama kan?

“Akhir-akhir ini aku sadar ini gak benar. Aku bersalah banyak pada Widya. Semalam aku baru tau kalau Widya sudah lama curiga tentag kita.”

“Aku mau kok nunggu kamu,” air mata Mala mulai menetes.

“Gak perlu, Mala.”

Pintu lift terbuka. Mereka tiba di Lobby utama. Arbi melangkah pergi. Mala mengikuti langkahnya.

“Arbi,” lirih suara Mala.

Meski mendengarnya, Arbi memilih tetap meneruskan langkah. Benaknya sibuk mencari cara agar dapat kembali memenangkan hati Widya.

#fiksimini

*Terinspirasi dari foto story seorang teman di instagram

Yang sempat terlipat

Mungkin di blog ini saya terlalu sering bercerita yang ada kaitannya dengan ibu saya. Semoga pemirsa tidak bosan ehehe (mohon maaf pemirsa yang mana Kar? 😂)

Habis, seperti yang pernah saya bilang, mood paling baik saya untuk menulis adalah saat sedih. Sedih aja bukan sedih banget, dan kalau ingat umi kan otomatis jadi sedih gitu.

Suatu ketika (belum lama sih) saat dalam perjalanan menuju Stasiun Gambir, saya dihujani kembali oleh kenangan tentang umi.

Gambir.

Bisa dibilang adalah tempat yang paling gampang bikin saya mengenangnya.

Punya umi yang seorang perempuan bekerja dengan anak dan amanah super banyak tentu momen berdua dengannya adalah kala yang langka.

Nah, di Gambir ini saya biasanya bisa dapat Quality time bareng umi.

Waktu saya kuliah di Jogja, umi sering sekali menyempatkan waktu untuk antar saya ke Stasiun Gambir. Kadang juga jemput di sana.

Dulu pengantar masih bisa ikut ke peron dan mengantar sampai ke dalam kereta. Biasanya umi akan belikan saya bekal, kadang roti Holland Bakery kadang Hokben, agar dalam 8-10 jam perjalanan saya gak kelaparan. Lalu umi antar saya ke dalam kereta. Menyapa siapapun yang duduk di sebelah saya dan dengan nada akrab bilang “Titip anak saya ya,” kalau yang di sebelah saya ibu-ibu yang umi nilai cukup meyakinkan.

Setelah pengantar tidak bisa ikut ke peron, biasanya kami datang lebih dulu ke stasiun. Berbincang santai-serius- santai di Kedai Donat. Kedai di mana suatu hari kami pernah berada dalam ruang emosi yang begitu kental.

Dan begitulah. Ketika akhirnya sampai di Gambir lagi Jumat lalu, kenangan-kenangan kembali menyerbu. Meski banyak yang berubah, Gambir masih memberi rasa yang sama. Bagi saya, tempat ini akan selalu istimewa.

Di tempat ini

Rindu yang sempat kulipat

Terbuka lagi

Mengetuk lagi

Memaksa hadir lagi

Pada tepi-tepi hati

Di Tepi Bosporus #6

[Anggia]

Sabtu Keempat Belas

Sedari tadi Ia sibuk menikmati coklat hangat di cangkirnya. Lalu Ia seru berbincang dengan Ghazi. Tentang kampus, tentang organisasi, tentang klub bola favorit mereka, tentang apapun kecuali tentang aku yang makin bingung bagaimana memulainya.

Beberapa hari terakhir aku sudah pasrah dan berserah. Beberapa istikharah kutunaikan. Alhamdulillah tadi malam sudah kutetapkan pilihan. Kini aku ingin menjawabnya, tapi mengapa Ia tak bertanya?

“Anggia,” ah akhirnya Ia memanggilku.

Masih dari kursi itu. Kututup buku di tanganku. Sebentar aku menatapnya. Rupanya Ia tak sedang mencari mataku. Pandangannya tertuju pada cangkir kosong di depannya. Ah, Ia sedang gelisah. Apa jawaban ini demikian Ia nanti?

“Saya tau tentang Fadlan, Anggia.”

Di sebelahku Ghazi tampak sama terkejutnya. Tapi Ghazi memilih tidak bicara. Aku yang akhirnya bertanya.

“Dari siapa?”

“Dari Fadlan sendiri. Dia kawan SMP saya.”

Oh begitu rupanya.

“Dia baik, sangat baik Anggia. Insya Allah soleh. Waktu SMP selalu juara. Di Mesir juga lulus dengan Mumtaz bi syarof.”

Tentang itu, aku sudah banyak dengar dari Tante Tian.

“Pernah lihat video murottalnya di Youtube?”

“Sebelum bertemu Kak Fadlan, aku putar setiap hari,” jawabku apa adanya.

“Bagus ya.”

“Iya bagus. Sudah banyak subscribernya.”

“Ada banyak tawaran dari stasiun televisi. Agar dia mau mengisi acara sebagai Ustadz muda. Tapi Fadlan memilih lanjut studi di sini.”

[Ghazi]

Duh Gue gemes nih. Kalau duduk di depan Gue sudah Gue injak kaki Zayn dari tadi nih.

Mohon maaf Bro, kenapa Lo jadi kampanye tentang Fadlan ya?

Gue belum tau jawaban Anggia. Katanya, bareng Zayn aja taunya. Ayah Bunda yang sudah dia kasih tau lebih dulu.

Fadlan memang keren sih. Oke banget malah. Tapi kan dari awal Gue #TimAnggiaZayn. Walaupun di depan mereka gak terlalu Gue tunjukin.

Makanya dengar Zayn tambah banyak cerita tentang baiknya Fadlan, Gue agak gregetan.

“Zayn, lo coba ngaji deh. Biar Anggia denger.”

Minimal ini usaha terakhir Gue mewujudkan #AnggiaZaynkepelaminan.

Zayn menatap Gue bingung.

“Sekarang?”

“Iya Bro, Lo kan kalo ngaji enak, Gue perlu diademin nih.”

“Gak perlu sekarang gapapa kali Ghazii,” Anggia menghentikan usaha mulia Gue.

[Zayn]

Sunset kali ini agak berbeda Anggia. Lebih indah dari biasanya. Ingin saya abadikan, tapi jawabanmu lebih saya nantikan.

Anggia, saya ingin kamu, tapi saya juga ingin kamu tau. Bahwa Fadlan yang saya banggakan memang sebaik itu.

Sudah saya katakan tadi. Sekarang saya merasa lebih lega. Pahit atau manis jawabanmu nantinya, saya akan berbahagia.

“Sudah?”

“Sudah apa?”

“Cerita tentang Kak Fadlannya?” Tenang sekali kamu bertanya, Anggia.

“Cukup.”

“Sekarang aku boleh nanya?”

Apapun, Anggia.

“Boleh.”

“Winter Break nanti ada rencana pulang?”

“Ada. Adik perempuan saya akan menikah di Aceh. Saya ingin hadir sekalian menemani ayah siapkan acaranya.”

Lalu hening.

“Ada apa?”

“Mampir ke Tangsel ya? Ditunggu ayah, di rumah.”

Cangkir di depan saya tak menarik lagi Anggia. Saya cari kesungguhan pada sepasang matamu.

Yang saya temukan adalah damai. Gemuruh di dada saya kian ramai.

“Nanti aku mau dengar Kak Zayn ngaji setelah kita akad ya.”

*The End*

Di Tepi Bosporus #5 [Zayn]

Anggia, besok kita akan kembali menikmati senja di Paşalimanı. Kamu tau mengapa saya suka sekali mengabadikan momen matahari terbit dan terbenam? Karena pada waktu-waktu itu saya terkenang akan Ibu. Ah akan panjang ceritanya, ada hal lain yang sedang melanda saya. Bahkan rasa ini saya gak tau namanya. Keinginan menua bersamamu tak pernah berubah. Hanya saja, tentang rumitnya rasa saat kini saya menunggu jawabanmu adalah hal lain.

Saya tau Anggia, siapa yang kamu temui di Sirinevler. Bukan Ghazi yang cerita, tapi seorang kawan lama. Kawan saya saat SMP dulu di asrama. Kawan memancing di danau, juga berlarian di tepi sungai. Asrama kami dulu ada di tengah alam terbuka. Pada waktu libur, jika sedang tak dikunjungi, saya bertualang bersamanya. Kawan saya ini, Fadlan Imani.

Sabtu malam itu, Fadlan menghubungi saya. Mengabari bahwa dia di sini, di kota kita. Fadlan mengajak saya bertemu hari Minggu di Blue Mosque, Masjid Sultan Ahmet. Senang sekali saya dapat jumpa dengannya. Sudah dua tahun berlalu sejak terakhir kami bertemu di Jakarta.

“Kenal Ghazi gak?” Tanya Fadlan di tengah perbincangan. Saat itu kami telah usai shalat ashar, duduk di bangku panjang pada pelataran masjid.

“Ghazi Fahmi?”

“Iya, kenal?”

“Kenal, sering bareng malah. Kenapa?”

“Ternyata dia anak teman Mama. Kemarin kami bertemu di Kocasinan Kafe, sama adiknya, Anggia.”

Ah bertemu Fadlan kamu rupanya, Anggia. Saat itu saya mengira hanya silaturahim biasa.

Jeda sebentar saja sebelum Fadlan menambahkan.

“Mama kan tau saya sedang cari istri, menurut Mama Anggia cocok untuk saya, kemarin kenalan, ngobrol santai aja.”

Jangan tanya bagaimana perasaan saya. Ah mungkin kata paling sederhana yang tepat adalah, kacau, Anggia.

Sesantai mungkin saya coba bertanya.

“Gimana Anggia?”

“Hmm kualifikasinya lebih dari yang saya duga. Saya maunya lanjut, gak tau Anggia.”

Setelahnya saya lebih banyak mendengarkan Fadlan bercerita. Sebisa mungkin saya fokus dengan apa yang dikatakannya. Sebab pikiran saya melanglang buana.

Setelah shalat maghrib kami pindah ke Sultan Ahmet Köftecisi, makan malam sambil kembali berbincang. Bagi saya, ditambah dengan menimbang. Apakah sebaiknya saya bercerita pada Fadlan bahwa saya baru saja mengajak kamu menikah? Tapi sampai akhir pertemuan dengan Fadlan, tidak saya katakan.

Tiga hari selanjutnya saya sibukkan diri agar tidak keki pada rasa bimbang ini. Pada beberapa senja saya kembali berkawan dengan kamera. Sebagian karena pekerjaan. Sebagian saya niatkan sebagai perjalanan. Menyebrang dengan kapal dari Eminönü ke Üsküdar jelang maghrib untuk momen sunset terbaik. Benak saya bolak balik bertanya. Haruskah saya mengalah pada Fadlan, kawan yang saya banggakan?

Rabu malam, Fadlan mengirim pesan. Mengajak saya kembali bersua sebelum dia lanjut ke tanah suci.

Kami bertemu esoknya, kembali di Sultan Ahmet Köftecisi. Fadlan sangat suka Köfte di sana.

“Saya sebenarnya gak enak sama Anggia. Padahal baru beberapa hari tapi Mama sudah bertanya jawabannya. Apa dia mau sama saya. Akhirnya kemarin Ghazi ajak bertemu empat mata. Ternyata, sebelum saya ada yang lebih dulu mengajak Anggja menikah. Belum khitbah ke ayahnya, tapi Anggia ingin benar-benar istikharah.”

“Itu saya,” tiba-tiba saya merasa bahwa itulah saatnya saya bilang pada Fadlan, Anggia.

Fadlan berusaha mencerna. Cukup lama sebelum dia bertanya.

“Kenapa gak bilang?”

Saya menatap Fadlan penuh kesungguhan sambil menyusun jawaban.

“Ah gak enak sama saya ya? Zayn, ayolah,” Fadlan berujar gemas.

“Saya gak tau kalau dihadapkan dengan kamu, harus mengalah atau berjuang,” akhirnya saya bersuara.

“Waktu di asrama kamu sudah sering mengalah, Zayn. Kamu sudah lebih lama mengenalnya. Saya akan bilang ke Mama,” Fadlan menghela nafas.

“Untuk mundur.”

Setelah berpulangnya Ibu, baru kali itu mata saya kembali berkaca-kaca Anggia. Fadlan Imani dengan kualitas seperti ini. Kawan sedari lama dan akan berkawan sampai lama.

Hening.

Lima menit berlalu, masih hening.

“Jangan mundur duluan, biarkan Anggia memutuskan,” akhirnya saya menutup perbincangan.

📷: Salma Salimah

Di Tepi Bosporus #4 [Anggia]

Kali ini bukan Ia yang duduk di depanku. Tapi Ia yang lain. Fadlan Imani. Sosok yang murattalnya kudengar sehari-hari. Tak kusangka Kak Fadlan merupakan putra dari teman Bunda. Tak kusangka pula hari ini dapat berjumpa.

.
“Kak Zayn, maaf ya hari ini aku sama Ghazi gak bisa ke Paşalimanı. Mesti temui tamu teman Bunda di Kocasinan Kafe, Sirinevler. Hmm jadinya jawabanku juga tertunda nih Kak.”

Begitu pesanku padanya tadi pagi. Entah mengapa begitu detail berita itu kubagi. Apa alam bawah sadarku ingin Ia yang datang dan duduk di depanku kini?

“Oh ya, Ghazi sudah bilang. Gapapa kok, ga buru-buru juga.”

Sebenarnya sudah kubilang pada Bunda. Bahwa Kak Zayn ingin aku menikah dengannya. Sudah kubilang juga bahwa aku cenderung padanya.

“Kamu sudah istikharah Sayang? Coba temui dulu Fadlan, Bunda pilihkan untukmu gak asal-asalan. Kamu bisa ngobrol dengan Fadlan, dengan orang tuanya. Setelah itu baru kamu pikirkan lagi Sayang. Istikharah juga agar pilihanmu Allah yang mantapkan.”

Sedari tadi Ghazi lancar berbincang dengan Kak Fadlan. Sementara aku banyak ditanya oleh Tante Tian dan Om Salis mama papanya  Sesekali Kak Fadlan juga mengajakku bicara. Jelas sekali Kak Fadlan pribadi yang supel dan ramah. Pada awal pertemuan Kak Fadlan sempat tilawah, dan ternyata secara langsung terdengar lebih indah. 

“Ghazi tahun depan lulus ya? Kalau Anggia tahun depannya lagi?” Tiba-tiba Tante Tian bertanya.

“Insya Allah Tante,” Ghazi yang jawab.

“Saya rencana mau ambil S3 di sini. Kayaknya lebih enak kalau ada yang menemani,” kali ini Kak Fadlan. Santai saja, sambil tersenyum penuh makna.

Bukan hanya aku, Ghazi juga terlihat kikuk mendengarnya.

“Semoga ketemu yang cocok ya Bang Fadlan.”

Ah terima kasih Ghazi, aku jadi lepas dari kewajiban berbasa-basi.

Sebelum berpisah, Tante Tian mengajakku bicara berdua.

“Anggia, ini Fadlan serius cari istri. Kalau kamu merasa cocok, kabari Bundamu atau Tante ya. Kalau positif insya Allah nanti Fadlan datang ke ayahmu. Tante akan senang sekali dapat mantu kayak kamu.”

“Insya Allah nanti Anggia kabari lewat Bunda ya Tante. Terima kasih banyak ya Tan.”

Di dalam Tramvay, sepanjang perjalanan pulang dari Sirinevler ke Beyazit, pikiranku mengembara. Terus terang aku seperti tidak menemukan cela pada Kak Fadlan, meski pada Kak Zayn hatiku lebih dulu ditambatkan. 

Kusadari bahwa aku mesti mencoba mengesampingkan perasaanku pada Kak Zayn. Sebab Kak Fadlan, bukan sekedar punya banyak penggemar, tapi memang pandai mengajinya, luas pergaulannya, baik wawasan agamanya, dan menyenangkan pembawaanya. Ah, aku benar-benar harus berserah dengan istikharah. 

“Bingung ya?” Pertanyaan Ghazi menyadarkanku dari lamunan.

“Banget. Dalam waktu berdekatan gini Ghazii..”

“Dua-duanya kayaknya serius mau langsung ke ayah juga ya kalau Lo udah oke. Lo mesti bersyukur Anggia, yang datang orang-orang baik.”

“Itulah. Menurut kamu aku pilih siapa Ghazi?”

Ghazi nyengir. Kutunggu jawabannya, tapi dia diam saja. 

Kami turun di Halte Beyazit. Lalu berjalan, masih dalam diam. Asramaku dan Flat Ghazi cukup dekat, sehingga Ghazi mengantarku terlebih dulu.

“Mau kering kentang gak? Stok yang dari Om Hari masih banyak.” Ujarku saat kami sampai di depan asrama.

“Gak usah, buat Lo aja. Di Flat masih ada rendang, bikinan Zayn.”

Debar jantungku masih saja tak menentu mendengar namanya.

“Gue lanjut ya. Lo santai aja tentang ini, gak perlu buru-buru jawab.”

Baru tiga langkah Gazi meninggalkanku, dia kembali menoleh.

“Ohya, fyi aja nih ya..”

“Apa?”

“Zayn juga pandai mengaji”

📷: Salma Salimah

Di Tepi Bosporus #3 [Ghazi]

Di Tepi Bosporus #3 [Ghazi]

Sejak awal Gue memang #timAnggiaZayn. Gak tau ya Gue punya banyak teman baik, tapi begitu ketemu Zayn langsung klik. Terbesit banget untuk jadiin ipar, tapi kan yang begini mesti pilihan hati. Makanya waktu ada momen ajak Zayn ketemu Anggia, Gue sebut-sebut aja sunset biar Zayn tertarik.

Gue sama Anggia hanya beda setahun. Dia manggil Gue gak pake Kakak atau Abang atau Mas. Bunda sudah kasih contoh untuk panggil Abang, tapi karena dari dulu Anggia sering main sama teman-teman Gue, dia ikutan panggil Ghazi aja, lama-lama jadi biasa. Gapapa, Gue malah jadi terkesan muda hehe.

Gue sama Anggia sama-sama suka ngobrol. Mungkin karena sejak kecil Ayah Bunda selalu sediakan waktu setelah makan malam untuk kami bercerita. Kami diminta cerita pengalaman kami, perasaan kami, dan apapun yang bisa disyukuri. Makanya Gue merasa Zayn yang kalem cocoklah sama Anggia.

Kalemnya Zayn bukan berarti dia gak peduli. Justru sepertinya dia bisa menang penghargaan “Teman Paling Perhatian” kalau Gue bikin award. Pernah Gue cerita lagi ada tugas bikin Social Project. Dua hari kemudian dia datang ke flat Gue, bawa flashdisk yang isinya foto-foto buat project itu. Padahal Gue gak minta. Beneran. Waktu tau Gue sakit dia juga sibuk di flat. Gue kira benerin keran yang lagi macet, ternyata masakin Gue bubur ayam. Ah the best lah.

Sebentar lagi Gue mau telpon Bunda. Mau lapor kejadian sore tadi. Zayn ajak Anggia nikah. To the point Man, salutlah. Tadi Gue mau nimbrung rasanya pas mereka ngobrol, tapi Gue tahan, kuatir merusak suasana.

Lha ini Bunda malah lebih dulu kirim pesan via WhatsApp, sebentar Gue baca ya.

“Bang, ada anak teman Bunda, sudah selesai S2 di Mesir. Qari yang banyak videonya di Youtube itu looh. Insya Allah solehlah, mau Bunda kenalin ke Anggia. Sabtu depan dia ke Istanbul sama Mama Papanya, Abang temani Anggia ketemu mereka ya..”

📷: @theycallmesal

Di Tepi Bosporus #2 [Zayn]

Sabtu Pertama

“Ketemu adik lagi?” Tanya saya pada Ghazi saat berkunjung ke flatnya.

“Iya, mau ikut? Sunset dapet banget di sana.”

Lalu senja itu saya lihat kamu, Anggia. Datang tergesa berlinang air mata. Kamu gak sadar saya di sana, langsung seru bercerita ke Ghazi. Setelah Ghazi memperkenalkan, baru kamu berusaha tersenyum.

“Maaf ya Kak. Aku seru sendiri. Ini Kak Zayn teman kampus yang fotografer bukan? Ghazi pernah cerita deh.”

Sabtu Ketiga

“Kak, ini Instagram kakak banyaknya foto sunrise dan sunset ya. Kalau sunrise biasanya ambil di mana?”

Sabtu Keempat

“Pardon, sipariş verebilir miyiz? Bir sıcak çikolata ve bir cappuccino ve bir elma çayi. Teşekkürler.” Kamu menyebut pesanan kita pada pelayan.

“Kak Zayn benar coklat hangat kan?”

“Yap, thanks.”

Kamu hafal rupanya, Anggia.

Sabtu Ketujuh

Saya sibuk dengan kamera. Kamu dan Ghazi berbincang panjang. Sebenarnya saat itu saya mulai merasa bahwa kamulah perempuan pilihan. Dari tujuh Sabtu saya jadi tau. Kamu gak hanya penutur yang asik, tapi juga pendengar yang baik.

Sabtu Kesembilan

“Lagi mulai hafalin An-Nur, pesan Bunda. Ternyata lebih enak kalau lebih dulu dibaca artinya. Pekan depan tolong simakin ya,” ujarmu serius pada Ghazi.

Sabtu Kesepuluh

Tiga puluh menit tanpa kalian berbincang aneh juga rupanya. Ghazi dengan diktat tebalnya, kamu dengan buku serumu.

Anggia, saya ingin ajak kamu bicara. Tapi tentang apa?

Sabtu Kedua Belas, pagi hari

“Kalau serius, Lo datang ke ayah. Tapi nanti coba dulu aja tanya Anggia.”

Sabtu Kedua Belas, jelang mentari undur diri

Sudah saya katakan tadi. Jangan tanya bagaimana groginya. Kamu terdiam lama sambil berkali-kali melirik Ghazi.

“Insya Allah Sabtu depan ada jawaban. Aku istikharah dulu.”

📷: @theycallmesal