Till We Meet Again

“Kita bertemu lagi Sabtu depan ya..” ujarnya sebelum aku sempurna melepas jemarinya dari genggamanku.

Di tempat yang sama kini aku menunggunya. Pada Sabtu ke-tiga belas sejak kali pertama kami berjumpa.

Ia belum juga datang, dan aku mulai menerka. Rasa apa yang kini menggelayut, bukan resah bukan gelisah. Pada Sabtu-Sabtu lalu aku dengan mudah mengeja dan mengucap rindu. Kini aku seperti tidak menemukannya. Ya, tak kutemukan rindu. Tak kurasakqn debar yang biasa saat menantinya.

Lalu sebuah buku hadir di ruang pandangku. “Untuk kamu,” akhirnya Ia datang. Duduk santai dihadapanku, seperti biasa.

“Apa yang kau rasa? Sesuatu mengganggu pikiranmu?” Aku tak menjawab. Kuambil buku yang diberikannya. Buku harian, artinya ia mendengarkan. Sabtu lalu aku bercerita tentang bahagianya aku telah mengisi lembar terakhir buku harian lamaku.

Sebuah pulpen disodorkannya. Membuatku ragu menulis kata yang mulai tersusun di benakku. Mengapa kebaikannya masih sama. Pengertiannya masih luar biasa. Tapi aku hanya ingin jujur, tak ingin palsu tumbuh subur.

Kutulis ini dan kubiarkan Ia membacanya.

image

Ah, Ia pandai sekali menjaga ekspresi. aku tak bisa menebak yang ia rasa. Sedikit jeda sebelum ia tersenyum sambil pelan berdiri. “Sabtu depan kita tak perlu berjumpa.” Aku diam. “Juga Sabtu depannya lagi dan Sabtu depannya lagi.”

Ada yang mendesak untuk kuucap “Sampai kapan?” Ia tak menjawab. Ditatapnya aku sebelum ia mengambil buku dan pena di meja. Ada yang ditulisnya.

image

Lalu Ia pergi sambil tersenyum kecil. Tak membiarkan matanya menatapku lagi.