Suatu ketika, saat kami sedang menggunakan jasa Grabcar, duduk seorang Bapak yang berasal dari Ambon di balik kemudi. Suami berbincang dengan beliau, saya hanya mendengarkan. Perbincangan mencapai topik kerusuhan di Ambon belasan tahun silam. Pikiran saya menerawang. Ada suatu masa saat Ambon masih bergejolak, umi dan abi ditugaskan pergi ke sana. Saya gelisah sejak mengetahui hal itu. Umi dan abi pergi tengah malam, tanpa membangunkan anak-anaknya. Entah mengapa, saya yang saat itu juga sedang tidur lelap mendadak terbangun dan mencari umi abi. Mereka sudah di teras, hendak naik mobil yang akan mengantar ke Bandara. Saya diam memandang mereka, sampai umi menyadari bahwa saya terbangun. “Kakak baru bangun?” “Umi kenapa harus ke Ambon sih? Kan di sana lagi gak aman..” kata-kata yang saya simpan seharian akhirnya keluar juga. Umi memandang saya, lalu mengelus kepala saya. ”Kakak doakan saja ya, insya Allah semuanya lancar.” Abi berkata senada dan meminta saya kembali tidur. Tapi malam itu saya sulit memejamkan mata.
Entah mengapa saya masih ingat perasaan saya malam itu, di antara banyak momen penting yang menguap satu-satu. Mungkin naluri saya sebagai anak ingin memastikan orang tua saya aman? Atau mungkin karena saya sayang, tapi sering sulit mengungkapkan? Hamdalah saat itu umi abi kembali dengan selamat, dengan banyak cerita seru yang saya tak ingat detilnya.
Rabbighfirly waliwaalidayya warhamhumaa kamaa robbayaanii shagiiraa.