stuck in my head

“don’t waste your time on me you’re already the voice inside my head”

Itu lagunya Blink 182 yang waktu SMA sering dinyanyikan abang saya (sampai saya hapal 😂).

Nah, kalau sekarang, ada penggalan ayat yang sering tiba2 teringat dan membuat saya spontan melafalkannya. Berkali-kali. Pernah sambil beberes meja, pernah pas lagi di mobil, pernah pas lagi bengong terus ingat belum ngaji 🙈, yang keucap ayat itu terus. Sampai-sampai Hide bilang “Bunda bacanya itu terus.” Ehehe maap ya Kak, hapalan Bunda belum banyak 🙈. 

Begini bunyi ayatnya:

“Allahu rabbunaa warabbukum. Lanaa a’maalunaa walakum a’maalukum. Laa hujjata baynanaa wa baynakum. Allahu yajma’u baynanaa, wailaihil mashiir.”

Tadi saya googling ternyata itu penggalan ayat dari surat Asy Syura ayat 15. Saya jadi baca dikit2 tafsirnya. Yang saya tangkap tentang kebenaran itu hakiki, dan gak usah saling hujat. Bagi kita amal kita, bagi mereka amal mereka. Mengingatkan saya akan era media sosial sekarang ini hujat menghujat bukan lagi kejadian langka. Panjang, berseliweran di lini masa. Membela dan mengkritisi tanpa etika. Membenci seringnya sepenuh hati. Kadang kebenaran menjadi sulit didengarkan ketika disertai dengan hujatan. Tidak ingin dibilang demikian tapi kerap menuduh demikian. 

Astaghfirullah.

Allahummaghfirlanaa.

Suatu Senja di Beranda Rumahmu #6

Pukul 07. 20. Aku keluar dari Arrival Gate menuju pool DAMRI. Setelah membeli tiket jurusan Pasar Minggu aku menunggu. Kembali kuaktifkan ponsel, mencoba menelponmu, Aini. Beberapa kali terdengar nada sambung di sebrang, tak kunjung kau angkat. Akhirnya kucoba mengirim pesan lewat WhatsApp. Saat itu banyak sekali notifikasi dari Grup SMA, jadi kubuka sebentar.

Dan ya.

Fotoku dan Valerie di Bandara tadi ada di sana.

“Ketemu Anak Karate, Bapak Arsyad setelah sekian lamaaa.” Begitu Valerie memberi keterangan.

Aku tak memikirkan apapun selain perasaanmu. Bagi kawan kita yang lain mungkin biasa, tapi kau, istriku, baru saja membaca pengakuan Valerie. Apa Valerie sengaja?

Kucoba menelponmu lagi tapi kau belum bersedia menjawab. Kau harus tau aku tak ingin begini, Aini.

Entah mengapa DAMRI kali ini terasa lama datangnya. Kukeluarkan buku bacaan dari ransel, mencoba mengalihkan kekalutan pikiran dan perasaan.

Aku baru membaca satu halaman “Branding itu Dipraktekin”nya Tim Wesfix, ketika kurasa ada yang menarik Tas Oleh-Olehku. Sekilas kulihat Platform Shoes berwarna hitam-biru dongker sebelum mendongak. Kamu.

“Ayo.” Kau tersenyum, terlampau tipis kali ini.

Kuambil kunci mobil dari tanganmu, lalu kita berjalan berdampingan.

“Aku kira kau gak akan jemput. Pesan dan telponku gak berbalas.”

“Jemput kok.”

Lalu kita meninggalkan bandara. Hening. Biasanya kau selalu punya banyak cerita jika aku pulang dari luar kota. Tentang murid-muridmu, tentang buku yang kau baca, atau tentang rencana akhir pekan kita.

Aku bingung sebaiknya memulai dari mana. Perkara pengakuan Valeriekah? Atau selfie kami yang  ramai dikomentari di grup?

“Sudah lihat fotoku dan Valerie di grup?”

“Sudah.”

“Iya, tadi dia datang ke Bandara, kasih coklat. Waktu aku masukkan coklat ke ransel, dia panggil, ternyata lagi selfie. Ya gitu deh.”

“Gigih juga ya..” katamu pelan. Aku menatapmu sekilas. Kau sedang mempermainkan kuku di jarimu.

“Coklatnya buat kamu aja ya. Dark chocolate, kesukaan kamu.”

“Thank you,” kau mencoba tersenyum.

Lalu kita kembali bertemu dengan hening, lama.

Ketika akan tiba di pintu keluar Tol Pancoran aku bertanya.

“Mau sarapan apa selain terserah?”

“Lontong Padang,” jawabmu.

Akhirnya kita mampir di Pusat Jajanan sebrang Taman Makam Pahlawan Kalibata. Ada satu tenda yang menjual Lontong Sayur Padang kesukaanmu.

Kau masih banyak diam. Aku akhirnya tidak bisa menyembunyikan rasa penasaranku.

“Bagaimana?” Tanyaku.

“Bagaimana apa?”

“Kamu sudah lihat kan, screenshot yang kukirim? Percakapanku dengan Valerie,” ujarku hati-hati.

“Oh itu..” Kau tidak melanjutkan, malah tampak semakin lahap menikmati hidangan di depanmu.

Aku selesai lebih dulu, lalu memperhatikanmu makan.

“Tentang itu ada beberapa hal,” ujarmu setelah meneguk air mineral.

“Satu. Maaf aku gak balas pesanmu, gak angkat telponmu, dan gak bawel pagi ini.”

“Bu Guru jealous ya?” Aku mencoba mencairkan suasana.

“Mungkin.” Kau tertawa kecil.

“Dua. Sejujurnya Aku gak nyangka, Valerie.. Ya dia tau kan kau sudah menikah denganku. Tapi masih berupaya.. ya kamu tahulah. Datang ke Bandara pula, kasih coklat.. ”

“Tiga. Dia cantik. Tipe cantik yang bisa buat orang melipir.” Ujarmu dengan mimik lucu.

“Hei, Aini, kamu cantik. Tipe cantik yang paling pas buat aku,” kutatap lurus matamu.

“Waktu SMA dia beberapa kali jadi cover majalah Cosmogirl lho.”

“Kamu selamanya jadi cover majalah Arsyad’s Girl.”

Kau tertawa, lalu melanjutkan.

“Empat. Aku mencoba memahami perasaanmu, Syad. Untuk kamu yang pernah menyukainya mungkin kamu masih terbang, tersanjung dengan pengakuannya. Bayangkan, perasaanmu dulu berbalas. Dan aku, di ruangan yang sama, gak kemana-mana, menunggu kamu menjejak kembali ke bumi.”

Kau mengucapkannya dengan tenang. Aku terpaku beberapa saat. Hatiku mengucap syukur.

Kita tak banyak bicara setelahnya, hanya saja kau biarkan tanganku sesekali menggenggam tanganmu dalam perjalanan pulang.

Senja itu, di hari yang sama. Kau duduk di beranda sambil menggunting kuku. Aku bergabung membawa dua mug teh dan sebuah buku.

“Hey..”

“Ya?”

Aku duduk di sebelahmu.

“Terima kasih untuk pengertianmu ya. Hal Valerie tadi,” ujarku.

Kau meletakkan gunting kuku lalu menatapku.

“Aku berterima kasih atas kejujuranmu,” ujarmu penuh kesungguhan.

“Saat ini sudah satu tahun kita bersama. Ada ujian seperti ini. Kedepan mungkin masih ada beragam cobaan untuk kita, Sayang. Semoga Allah selalu menjaga kita ya,” aku berkata sambil menatapmu lekat.

Kau mengangguk mengaminkan lalu bertanya.

“Oya, kamu bilang pada Valerie dia bisa mengobrol denganku. Sudah share nomorku?”

“Belum.”

“Gak perlu ya,” ujarmu sambil tersenyum tipis.

Ah aku tahu, akan berat bagimu. Mungkin kau terluka lebih dari yang kuduga. Sungguh maafkan aku, Aini.

Aku menyerahkan buku yang kubeli di Bandara untukmu. The Geography of Bliss karya Eric Weiner.

“Tadi mampir di periplus sebentar.”

“Oh Thank you soo much,” kau tampak berbinar, lalu membuka lembar demi lembar buku itu.

Ponsel di sakuku bergetar.

Valerie.

“Valerie kirim pesan,” ujarku.

“Apa katanya?” Kau bertanya, masih asik menekuri buku.

“Tanya apa aku sudah sampai. Semakin terasa gak pentingnya sih ini. Mau bantu balas?”

Kau mengangguk.

Aku membaca balasan yang kau ketik lalu menemukan matamu sedang memperhatikanku. Kau tersenyum. Senyum yang memikatku sejak kita berseragam putih biru. Refleks kukecup cepat keningmu.

“Good job. Terima kasih ya, teman jiwaku.”

“Anytime Sayang, anytime.”

Kau letakkan buku Mr. Weiner dan kau biarkan tanganku merangkul bahumu. Hujan perlahan turun, membawa sejuk di beranda rumah kita.

_The End_