Terkenang Umi (lagi).

Mei 2011. Kami yang kala itu berdomisili di Jogja sedang di Jakarta untuk kepentingan studi. Sabtu jelang shubuh, hp suami berdering. Saya ikut terbangun, dari nada bicaranya ada sesuatu yang genting. Percakapan selesai, saya bertanya. “Ada apa?” Suami diam. Perasaan saya mulai tidak enak. “Tadi siapa yang telpon?” Suami masih diam panjang sebelum akhirnya berkata. “Tadi Mbak Tuti. Umi kecelakaan, sekarang koma.” Sendi-sendi seperti lepas, saya lemas. Entah mengapa saya teringat ibu, mertua yang sempat koma sebelum Allah memanggil. “Kamu bangunin adik-adik ya, shalat shubuh, doa untuk umi,” kata suami.
Mba Tuti adalah ART yang baru resign karena menikah, dan baru saja pukul 22 malam itu umi hadiri pernikahannya di Bumi Jawa, Tegal. Sambil mencerna semuanya saya naik ke lantai atas, pertama kali ke kamar Salma. Yang saya dapati Salma sedang menangis sesenggukan. Perasaan saya makin gak enak. “Kenapa mah?” “Bang Olah (Sholah) udah gak ada.” Air mata saya langsung meleleh. Umi koma, Sholah sudah gak ada? Pikir saya saat itu. Ternyata Salma salah info, Sholah yang pada saat kejadian memegang kemudi hamdalah selamat. “Kamu shalat dulu.” Adzan Shubuh berkumandang. Saya lalu membangunkan adik-adik yang lain, meminta mereka turut mendoakan umi. Tak lama saya kembali mendengar Salma menangis lebih kencang, saya menghampirinya. “Kenapa?” “Umi udah gak ada.” “Kata siapa?” “Kata Mbak Effie” Mba Effie adalah sekretaris pribadi Umi. Saya menggeleng, air mata kembali mengalir. Reaksi yang saya kira hanya ada di sinetron terucap dari mulut saya. “Bohong. Mba Effie salah kabar kali Mah. Umi koma kok, masih mungkin sembuh kok. Bohong kan mah?” Salma masih terus menangis.
Di depan rumah, tetangga berdatangan. Rupanya broadcast tentang umi koma sudah menyebar. Saya menjawab tetangga dengan ketidakpastian. Dalam benak saya saat itu Salma dapat kabar yang salah, saya (astaghfirullah, saat itu sulit sekali percaya padahal sudah Qadarullah) masih belum yakin akan kepergian umi. Sekitar pukul 7 pagi saya baru benar-benar percaya bahwa umi sudah tiada ketika suami bicara langsung dengan ikhwah yang mengurus jenazah umi di Cirebon.

Saya sungguh mengagumi beberapa orang yang dapat cepat pulih dari keterkejutan. Karena saya merasa kesulitan. Saat itu saya linglung, tidak tahu apa yang harus dilakukan padahal saya (si anak ketiga) dan suami menjadi yang paling besar di rumah. Abi dan abang pertama mengalami kecelakaan yang sama dengan umi, saat itu masih dirawat di RS Mitra Plumbon. Abang kedua masih di Sarajevo menunggu wisuda yg rencananya akan umi hadiri. Saya tidak terpikir untuk menelpon adik-adik saya yang di pesantren dan di Depok. Bahkan abang saya yang di Sarajevo mengetahui kabar itu dari temannya yang mengakses Facebook 😭. Tiba-tiba saja adik-adik sudah kumpul di rumah, tenda sudah terpasang, kursi-kursi ditata, tetangga, murid-murid, dan kawan-kawan umi bahu membahu membantu. Tim dokumentasi DPP menanyakan kesiapan saya untuk diwawancara dan saya hanya menggeleng (padahal video dokumentasi itu nantinya sangat berharga dalam merekam momen itu). Seorang teman yang bekerja di media cetak juga datang, hendak bertanya tentang kejadian itu tapi saya belum bisa menyanggupi. Beberapa kawan datang, saya berterima kasih sekali dengan kehadiran mereka, sangat berarti meski saat itu saya menjadi tuan rumah yang banyak meninggalkan tamunya.

Sekitar pukul 10 ambulans yang membawa jenazah umi datang. Takbir menggema saat jenazah dibawa ke rumah. Saya remuk tiada bentuk, tangan saya memijat kaki umi yang sudah dingin “Mi, maafin Kakak.. Mi, Kakak jarang banget mijitin umi padahal umi capek banget tiap hari.” Saat itu berkelebat momen-momen terakhir bersama umi berikut rasa sesal mendalam atas banyaknya salah saya ke umi. Tak lama saya ikut memandikan jenazah umi. Wajah umi tenang sekali seperti sedang tidur. Hati saya bergumam, “Bangun Mi, bangun..” tapi makin lama jasad umi semakin kaku.
Beberapa hari setelah kejadian saya baru mendengar kronologi kejadiannya. Usai menghadiri wisuda Bang Umar di Jogja, umi mampir silaturahim ke Magelang, menjenguk Uyut, neneknya abi. Lalu abi mengajak umi naik pesawat agar cepat kembali ke Jakarta. Umi menolak karena sudah janji akan menghadiri pernikahan Mba Tuti. Agak larut tiba di Tegal, rombongan​ akhirnya kembali ke Jakarta. Ayyasy bilang sebelum semua tidur, umi bercerita tentang kematian, tentang Malaikat Maut. Tak lama semua terlelap. Dini hari, Pak Hanafi mengantuk sehingga Sholah mengambil alih kemudi. Kecepatan stabil meski cukup tinggi. Lima menit setelah Sholah ambil kemudi, ada tikungan tanpa penerangan yang sulit diantisipasi. Mobil menyerempet beton tepat di bagian umi duduk, kursi tengah kiri. Tempat favorit umi, tempat umi biasa mengaji. Semua terkejut. Umi tersungkur, jidatnya membentur. Darah segar mengalir, abi sempat memperbaiki posisi duduk Umi. Umi berkata “Anak-anak umi gimana? Sholah selamat gak?” Umi kira, Sholah yang mengemudi mengalami kondisi paling parah, padahal sebaliknya. Sholah hamdalah baik-baik, ia yang memberi kabar kepada keluarga. Warga setempat berkerumun di sekitar mobil. Bang Umar yang saat itu juga ada di mobil bercerita pada saya. “Ternyata yang paling parah Umi, Umi duluan yang dibawa ambulans. Aku terguncang. Umi ngomong, Bi, Anak2, kayaknya Umi sampai disini deh, Umi mau meningggal.”
Abi bilang ke umi “Istighfar Umi.” “Astaghfirullahal adzim” Lalu abi tersentak karena berpikir mungkin ini memang waktunya buat umi. “Nyebut umi..” Umi lalu melafalkan kalimat syahadat. Bang Umar dan Ayyasy bilang “I love you Umi..”
Menurut tim medis, umi berpulang setelah 10 menit sampai di rumah sakit.

Pada hari umi berpulang saya seperti belum merasa bahwa umi telah pergi. Duka baru amat terasa pada hari-hari setelahnya. Sering terkenang semua tentang umi, sejak saya kecil. Ingat umi yang tanpa jeda mengandung dan menyusui putra-putrinya selama 20 tahun. Ingat umi yang mengajarkan nama-nama surat dalam Quran, membuat saya bisa membaca koran dan Quran di usia ke empat. Umi yang senantiasa mengaji, mendendangkan lagu-lagu perjuangan dan lagu-lagu Palestina. Umi yang saat kami masih kecil membawakan oleh-oleh permen dua butir sepulang mengajar, membuat kami begitu buncah. Umi yang membiarkan kami mandi hujan dan menyuguhkan susu hangat setelahnya. Umi yang menjahitkan baju lebaran saya, yang membuat bolu kukus dan kue sarang semut saat agendanya belum sepadat masa-masa akhir hidupnya. Umi yang setiap Shubuh membangunkan kami, mengajak shalat berjamaah lalu bercerita kisah rasul dan sahabat. Umi yang pada malamnya bercerita tentang si Ahmad, sebagai dongeng sebelum tidur. Umi yang jadi polisi di meja makan, harus sarapan minimal 10 suap jika ingin dapat uang jajan. Umi yang memeluk saya di milad ke 6 saya sambil bilang “Hadiahnya umi peluk dan sun dulu ya Kak, doakan rizki kita semakin lancar.” Umi yang tidak marah saat saya kabur karena terlalu lama dijemput, umi hanya ajak saya bersih-bersih dan balurkan minyak kayu putih. Umi yang tergopoh-gopoh menghampiri begitu mendengar teriakan saya saat dicakar kucing. Umi yang tersenyum lemah setelah melahirkan, saat saya datang menengok, umi bilang “Adiknya mirip siapa Kak?” Umi yang mengeluarkan receh dari tas kumalnya saat abi dinas lebih dari sebulan dan kondisi sedang pas-pasan. Saat itu anak umi dan abi sudah sepuluh. “Kita shalat sama-sama lalu berdoa agar dapat rizki yang berkah ya.” Umi yang diam-diam menangis saat saya pertama kali masuk pesantren. Umi yang sempatkan jenguk kami, kadang dengan angkutan umum, ke Anyer, ke Gontor, ke Kudus, ke Gunung Sindur di tengah padat aktivitasnya. Umi yang meyakinkan saya untuk menikah muda. “Selalu ada jalan untuk kebaikan Kak.” Umi yang berdiri di depan pintu kontrakan kami di Jogja, membawa buah dan bahan masakan, 10 jam setelah saya bercerita “Tadi malam kakak mimpi umi ke Jogja.” Umi yang sholihah, hafizah, qaanitatulil ghaib. Umi yang begitu banyak memberi tapi belum banyak menerima dari kami. Umi yang sayang kami dan sangat kami sayangi.

Rabbanaa​, ampuni umi kami, lapangkan kuburnya, perkenankan kami berkumpul dengannya di taman syurgaMu. Aamiin.

3 thoughts on “Terkenang Umi (lagi).

Leave a comment