Suatu Senja di Beranda Rumahmu #3

Aku menunggu kau duduk di samping ayahmu sebelum kembali duduk di kursi.

“Kamu sehat?”

Kau bertanya sambil menunjuk cangkir teh agar aku meminumnya.

Aku mengambil cangkir terdekat lalu meneguk airnya sedikit.

“Enak.”

“Pendapat yang aman,” ujarmu tertawa. Tawa yang sudah lama ingin kudengar.

“Serius ini enak, manisnya juga pas,” kataku.

“Iya, Aini sekarang sudah banyak di dapur. Sudah sering gantikan Mamanya menyeduh kopi  buat Om,”  ayahmu menambahkan sambil terkekeh.

Kau tersenyum tipis.

“Aku sehat, alhamdulillah. Hanya flu sedikit,” ujarku teringat pertanyaanmu tadi.

“Aini sekarang mengajar SD, Arsyad. Setiap pulang ada saja cerita tentang muridnya,” ujar ayahmu.

“Iya, seru Syad. Kadang happy kadang keki, tapi lebih banyak happynya,” tambahmu.

Kita terlibat perbincangan santai senja itu, seperti di masa lalu jika aku bertandang ke rumahmu. Dulu aku terbiasa ikut forum bicara keluargamu. Kadang bertiga seperti sekarang, kadang dengan ibumu, kadang lengkap dengan Kak Irna dan  Bagas. Kali ini kita berbincang tentang kamu, tentang aku, tentang keluargaku, tentang akuarium ayahmu, tentang pernikahan Kak Irna, dan banyak lagi. Begitu asyik sampai aku kehilangan semua gugup yang awalnya ikut serta.
Matahari hampir terbenam saat akhirnya aku memutuskan untuk segera mengutarakan tujuan utamaku datang sore ini.

“Om, apa Aini sudah ada yang melamar?” Aku bertanya sesantai mungkin. Ini penting kutanyakan, karena aku tidak bisa meminangmu jika sudah ada yang meminang lebih dulu.

“Ada,” jawab ayahmu.

Aku mulai patah arang, sebisa mungkin tetap kukontrol ekspresiku.

“Tapi sudah dijawab. Aini tidak bisa menerima pinangannya. Sudah dua orang yang datang, katanya masih kurang pas dan belum cocok jadi imamnya,” ayahmu menjawab sambil menepuk pelan pundakmu.

Kau tampak termangu, tidak berminat menambahkan perkataan ayahmu.

Aku diam sejenak. Kembali menyusun kata yang tadi malam sudah kulatih dalam benak.
“Bismillah, Om, maaf jika terkesan mendadak. Jika Om ridha, Arsyad ingin menikahi Aini,” kataku mantap sambil menatap wajah ayahmu yang tampak sedikit terkejut.

Kau tersenyum tipis, tidak tampak terkejut, seperti sudah mengantisipasi (atau menunggu?) momen ini lima tahun lamanya.
Ayahmu cepat mengendalikan diri lalu berkata “Kamu bersungguh-sungguh Nak?”

“Insya Allah Om.”

Ayahmu menimbang sejenak, lalu menatapmu. Saat itu aku menyadari matamu berkaca-kaca.

“Hal pendamping hidup, Om serahkan semua pada Aini. Tentu Om Tante beri masukan. Hmm ya, dan tentang kamu Arsyad, puji syukur Om telah mengenalmu lama, Om kenal keluargamu juga. Jadi ibaratnya sudah lulus sensor dari Om. Biasanya tante juga sependapat dengan Om. Yah jadi sekarang semua ada pada Aini.” Ah, ayahmu memang luar biasa. Lelaki yang sangat suportif dan bijaksana.

Kau terdiam. Kali ini lebih lama dari jeda lima tahun lalu. Aku memilih untuk tidak menatapmu, menunggu apapun yang akan kau ucapkan. Sejujurnya perasaanku tak menentu, kau seringkali tak terduga.

“Beri aku waktu,” akhirnya kau bicara.

“Mungkin pekan depan ya Arsyad bisa datang lagi, Aini?” Ayahmu menyuarakan pertanyaanku.

“Besok. Aku beri jawabannya besok,” katamu tenang.

“Baik, silakan kembali besok ya Arsyad. Aini, pikirkan baik-baik sayang, sertakan Yang Maha Tahu dalam ambil keputusan,” ayahmu berujar sambil tersenyum.

Esoknya, aku sedang bersiap berangkat ke rumahmu untuk menjemput jawaban ketika dari balik jendela kulihat kau dan Bagas memasuki halaman rumahku. Seperti biasa, kau memang tak terduga. Kau mengucap salam, aku mempersilakan kau dan Bagas duduk di beranda.

“Aku ke dalam sebentar,” ujarku, tiba-tiba bersemangat menyeduh teh lagi untukmu setelah sekian lama.

Saat aku kembali ke beranda, Bagas sedang asyik membolak balik majalah dari rak gantung. Ah, aku segera tau. Bagas hanya menemani, kau yang akan bicara pada jumpa kali ini.

“Seru majalahnya, Gas?” Tanyaku menggoda Bagas sambil menuang teh ke cangkir.

“Harus dibikin seru, pesan dari Bos Aini aku mesti sibuk sendiri,” kita semua tertawa.

Lalu, aku memilih diam, menunggumu membuka percakapan. Tapi kau tak kunjung bicara. Akhirnya aku bertanya.

“Ada apa? Aku baru mau jalan ke rumahmu.”

“Aku hendak membalas kunjunganmu kemarin. Silaturahim.”

Kau mulai bermain kata.

“Oke, terima kasih atas kunjungan baliknya. Apa ada sesuatu yang ingin disampaikan. Sesuatu yang semacam jawaban atas sebuah pertanyaan?”

Kau tertawa kecil.

“Aku sudah istikharah. Aku rasa jawabannyaa, hmm aku bersedia,” ujarmu pelan.

Aku hendak melonjak tapi tidak ingin buru-buru senang.

“Bersedia untuk apa?”

“Untuk dibuatkan teh enak setiap hari,” ujarmu sambil mengambil cangkir​ teh di hadapanmu.

Aku tak bisa menyembunyikan senyumku.

“Oh aku bisa membuatkan teh enak setiap hari, kan kita bertetangga,” entah mengapa aku ingin mendengarmu berujar sesuatu tentang menjadi istri atau pendampingku.

Kau mengerti keinginanku sehingga kau malah bertanya “Kedatanganmu kemarin, untuk memintaku jadi apa?”

“Jadi istri..”

“Ya, aku bersedia untuk itu,” kau menghindari mataku saat mengatakannya, tapi senyum tak lepas dari wajahmu.

“Alhamdulillaaah..” Bagas menyuarakan syukur tiada taraku.

“Karena kau pernah bilang padaku lima tahun lalu dan masih datang lima tahun kemudian, aku ingin menjawab langsung padamu. Kau tetap temui Papa untuk jawaban resminya ya, ditunggu di rumah,” kau menghabiskan teh di cangkirmu, lalu pamit bersama Bagas.

==================================

Lima hari lagi adalah waktunya. Hanya Yang Maha Baik dan aku yang tau bagaimana aku menunggu sakinah mawaddah dan hari-hari penuh rahmah bersamamu. Selama persiapan pernikahan, kita hanya sesekali berbincang, sebagian karena kesibukan, sebagian karena aku ingin lebih menjaga hati dan perasaan. 

Santai Arsyad, biarkan mengalir. Akan tiba waktunya kau dapat sejadi-jadinya bercerita dan bertanya, berbagi dan menjaga. 

Tapi kali ini aku teringat akan pesanmu waktu itu, yang bagiku, kini menjadi lucu. Tentang aku yang akan nomor satu kau beritahu jika kau akan menikah. Maka kuhubungi kau via WhatsApp.

Sampai jumpa di Aula Buya Hamka, Aini.

5 thoughts on “Suatu Senja di Beranda Rumahmu #3

Leave a comment