Suatu Senja di Beranda Rumahmu #1

Kau duduk santai di kursi kayu, menikmati secangkir teh yang baru kubawa dari dapurmu sore itu.

Aku berdiri bersandar di tiang beranda, menatapmu yang segera membalas tatapanku.

“Seperti biasa, teh paling enak se-Cibinooong. Mestinya aku yang buatin kamu ya,” ujarmu sambil tersenyum.

“Gak perlu repot, lebih enak buatanku.”

Kau tertawa setuju.

“Jadi berangkat besok sore?” Tanyaku berharap kau menggeleng, tapi kau malah mengangguk pelan.

“Hanya tiga malam. Gak perlu rindu-rindu amatlah,” katamu jenaka.

“Diusahakan” Padahal meski dicoba, mana mungkin aku tidak rindu. Tiga malam katamu, artinya kau tidak akan melepasku ke Bandara, lusa pagi.

“Kangen Jogja banget, nanti aku mau ke Pak Jamal. Ah, kapan-kapan kesananya bareng ya. Lebih seru nostalgia rame-rame.” Ujarmu bersemangat.

“Iya..” jawabku gamang.  Akhirnya kau menangkap keanehanku. Kau tidak bertanya, hanya menatapku lama.

“Lusa pagi aku ke Berlin. Ikut ayah. Ayah ditempatkan di sana.”

Tidak ada kata yang terucap dari bibir mungilmu. Hanya, matamu menghindari tatapanku, sibuk menekuri cangkir teh dalam genggaman.

“Maaf baru bilang. Kabarnya sudah dari akhir bulan lalu, tapi aku selalu urung bilang ke kamu. Aku.. Aku gak siap kita berpisah beberapa tahun ke depan.” Ini pertama kalinya secara verbal aku memberi isyarat bahwa kau signifikan bagiku.

“Kalau kamu bilang lebih awal, aku akan minta Lina gantikan aku presentasi di Jogja,” akhirnya kau bersuara.

“Maaf.”

“Untuk pergi bertahun-tahun, Syad, gak habis pikir aku,” dan kini kau tunjukkan kecewamu.

Aku menghindari matamu. Rasa bersalah menyergap. Apa tepat jika kuutarakan sekarang? Pertanyaan untukmu yang telah lama kusimpan.

“Hanya dengan ayah?” Akhirnya kau bicara.

“Iya, Ibu akan menyusul, menunggu Kirana tamat SMA tahun depan.”

Lalu kembali sunyi, aku kembali membaca situasi.

“Aini,” keberanianku akhirnya terkumpul.

Kau tidak menjawab, hanya saja matamu mengunci pandanganku.

“Tunggu aku?”

Kau masih belum menjawab, wajahmu penuh tanya.

“Balik dari Berlin nanti aku mau menikahimu.”

Kau tampak terkejut, meletakkan cangkir tehmu, lalu tertawa kecil.

“Serius,” ujarku pelan. Kau menatapku cepat sebelum mengalihkan pandanganmu ke rimbun mawar di pekarangan.

Lima menit tanpa kata. Aku menunggu jawabanmu.

Ada getar pada suaramu saat akhirnya kau berkata. “Aku tak akan menunggu.”

Sesak menjalar di dadaku.

“Syad.. Terima kasih niat baiknya ya. Perasaan aku ke kamu adalah rahasia, gak akan aku bilang di sini, saat ini. Kita teman baik, Syad, kalau berjodoh bisa jadi teman hidup. Tapi apapun dapat terjadi. Aku yang berubah, kamu yang berubah, atau mungkin perasaan kita yang berubah. Aku tidak ingin kau berjanji dan tidak dapat menjanjikan apapun. Bagiku janji yang sejati dalam hubungan laki-laki dan perempuan ada pada ijab kabul.”

Hei, aku tak pernah tau sisi dirimu yang ini. Kita begitu dekat tapi aku tak tau kau memegang prinsip demikian. Pelan kutata hati dan kucoba mencairkan suasana.

“Gak nyangka,” kataku mencoba tersenyum.

“Aku juga ga nyangka bisa bilang itu,” katamu sambil tertawa.

“Jadi malu nih sudah jujur banget,” tambahku sambil menutup muka dengan telapak tangan.

“Hahaha aku juga malu Syad kau bilang itu. Jarang-jarang situasi kita syahdu gini. Yang pasti akan sepi sekali saat kau di Berlin, tapi aku akan terbiasa,” kau ambil jeda sebelum melanjutkan “Kau..”

“Ya?”

“Kau tetap bisa tanya itu saat kembali nanti. Jika masih berminat. Jika janur kuning belum melengkung di depan. Barangkali aku ditakdirkan minum teh enak setiap hari,” ujarmu dengan mimik lucu.

Aku mengaminkan. Dalam hati sibuk menebak-nebak. Apakah saat ini aku cukup signifikan untukmu?

“Besok kuantar ke Gambir ya,” ujarku sambil bersiap pamit.

“Oke, ajak Kirana yaa.”

Aku mengangguk lalu pamit. Kau bangkit dari duduk lalu mengantarku sampai gerbang, menyaksikanku berjalan gontai seratus meter menuju kediamanku.

2 thoughts on “Suatu Senja di Beranda Rumahmu #1

Leave a comment