Tanjung Pinang #1

Sebenarnya, kami merencanakan untuk bertolak ke Jogja bulan Maret lalu. Ada undangan pernikahan rekan kerja suami, sekaligus diniatkan untuk berlibur dan nostalgia di kota pertemuan kami. Ehm. Sudah pesan tiket, rencana berangkat dengan kereta ekonomi, pulang dengan Air Asia. Sudah browsing penginapan-penginapan yang asik, bikin itinerary, dan tentu saja sudah cerita ke Kakak Hide yang sempat merasakan jadi Cah Jogja di masa batitanya. Dan? Semangat sekali Si Kakak “Ýeyey Hide mau Ke Jogja” katanya berulang.

Tapi Allah punya rencana lain. Tepat seminggu sebelum keberangkatan, Taka yang sudah 5 hari demam muncul campaknya. Ditambah diare, demam tinggi sampai 40.1 dercel, daan yang paling bikin sedih gak mau makan minum, jadinya lemas banget. Sabtu dini hari kami ke UGD RSU Bunda, dan Taka disarankan untuk opname, biar bisa dapat cairan untuk tubuhnya.

Ahad, Taka masih dirawat, Hide kami titipkan ke rumah sepupunya. Sore hari saat suster jaga malam tahu bahwa saya lagi hamil, beliau agak kaget dan bilang kalau saya sebaiknya gak kontak dengan Taka. Karena virus campak dapat membahayakan janin jika Ibu tertular. Jengjeng, saya menyayangkan pengetahuan saya yang minim tentang kesehatan. Ditambah suster mengingatkan “Íbu sudah terlanjur kontak loh Bu, segera cek ke dokter kandungan Ibu, nanti ada terapinya..” nyess, mellow deh saya malam itu. Suami langsung kasi maklumat buat saya pulang, sementara dia jaga Taka di RS.

Senin, sore hari saya menemui dr. Mutia di RS Hermina. Ternyataa, dokternya cukup santai Saudara. Mungkin karena beliau sudah senior yaa, saya hanya disarankan makan, istirahat yang cukup, dikasi resep Imunbooster, dan harus terus fit agar tidak tertular. Saya cukup tenang dengan penjelasan beliau, dan menyempatkan mampir ke RSU Bunda sebelum pulang karena tante mau jenguk Taka ke sana. Di RS, saya dan ayah menelpon Hide, kangen, pengen update kabar anak bujang di rumah sepupunya sekalian mengabarkan kalau saya akan jemput dia malam itu.  Saat tersambung dengan Hide, ada kabar yang cukup bikin degdegan. Hide cerita kalau kepalanya bocor. O ow. Saat menjemput Hide, saya baru dapat kronologinya. Ternyata Hide manjat tembok pembatas rumah, dan saat hendak turun, kawannya mengulurkan tangan untuk membantunya. Tapi namanya juga kawannya masih anak-anak, jadi gak cukup kuat handle badan hide sehingga hide jatuh dan terbentur. Ada empat jahitan di kepala bagian belakang. Hamdalah malam itu Hide dapat istirahat cukup.

Rabu, Taka sudah boleh pulang. Yeay. Saya dan Hide jemput Taka ke RS, hamdalah Taka sudah lebih segar, gemuk, dan yang paling penting sudah bisa senyum.

Kamis, Hide mulai demam.

Senin, campak Hide mulai keluar. Jengjeng. Taka masih pemulihan, Hide baru mulai campak. Pada situasi ini, suami ambil keputusan. Mulai Kamis akan ambil cuti, 5 hari kerja sampai Rabu pekan depan. Saya disarankan mengungsi sementara agar tidak tertular virus campak. Awalnya kami berpikir agar saya ke Tangerang, karena di sana banyak saudara. Tapii.. saya baru ingat kalau saya sudah lama menabung untuk beli tiket ke Tanjung Pinang, tempat tante saya, Cing Jiah. Bilang ke suami, hamdalah disetujui.

Sebelum suami cuti, sering terjadi drama pada waktu anak-anak minum obat. Taka heboh banget berontaknya, beberapa kali obat ditepis dan tumpah. Hide lebih kalem, tapi saat demamnya tinggi dan batuknya gak kunjung reda dia jadi super bete. Bilang “Gak sukaaa obatnya paiiit.. Gak mau…” Nah, anehnya di akhir Taka malah semangat banget minum obat. Malah obat yang sudah gak perlu diminum dia bawa-bawa sama sendok takarnya, minta disuapin, hehe.

Kamis, suami mulai cuti. Paginya saya packing, untuk keberangkatan pukul 17.30 sore harinya. Drama terjadi saat keberangkatan. Oh bukan drama nangis-nangisan sama anak-anak dan suami, tapi drama berharap terkejar waktu check in di bandara, karena NAM Air tidak dapat check in on line. Sekitar pukul 14 berangkat dari rumah naik grabbike. Tujuannya, Damri Pasar MInggu. Tapi punya tapi, hujan turun saat sampai Pancasila. Awalnya saya masih membatin “hajarlah hujan-hujanan, semoga ga tambah deras.” Eh baru membatin gitu sudah langsung deras. Kami menepi, pakai mantel dari grab, mantel atasnya ajah tapi, hehe. Abang grabnya hamdalah inisiatif mantelin koper di depan. Yak lanjut, di tengah hujan deras, baju bawah sudah basah kuyup dong, akhirnya saya minta abang grabnya buat berhenti. Kami berteduh sebentar, hujan masih deras. Saya pikir kalau begini gak kekejaar check in. “Pak, sampai di sini saja ya. Tolong bantu saya panggilkan taksi ya Pak.” Hamdalah abangnya baik, dibantu dipanggilkan taksi, diantar dan dibawakan koper sampai saya masuk taksi. Itu di Lenteng Agung. Mestinya gak jauh lagi sampai Pasar Minggu. Tapi ini hujan, beda cerita, hehe. Perjalanan menuju Damri Pasar Minggu tersendat. Hamdalah ketika hampir sampai hujan mereda. Naik Damri sudah pukul 15.30. Waktu check in yang seharusnya.

Damri dingin, baju basah, hampir telat, kebelet pipis. Hehe lengkap sudah. Sepanjang perjalanan, suami, Cing Jiah dan Cing Cui intens apdet posisi saya. Waktu tersambung dengan Cing Jiah, saya bilang saya pasrah kalau gak keburu check in. Mungkin belum berjodoh dengan Tanjung Pinang, hehe. Gak lama Cing Jiah hubungi saya lagi bahwa saya bisa dibantu check in dengan teman Om Is (suami CIng Jiah) yang ada di Bandara. Saya infokan kode booking saya,dan hamdalah bisa dibantu urusan check in. Tapi tetap saja, boarding pukul 17.00, saya mesti menjejak Bandara sebelum itu.

Singkat cerita, sampai juga. Saya ketemu Cing Neni yang akan bareng ke Tanjung Pinang, masuk ke counter check in, diberi Boarding Pass oleh teman Om Is, lari-lari, masuk ruang tunggu, tanya ke petugas pesawatnya sudah take off belum (hamdalah belum), ke toilet, keluar toilet panggilan untuk penumpang pesawat NAM AIR tujuan Tanjung Pinang terdengar. Time to go. Bismillah.

To be continued

Another Letter

Dan ini sebutir pasir dari masa itu. Saat kita berdiri berdampingan di senja sendu. Matahari hendak terbenam, Parangtritis.

Aku kadang kehilangan pegangangan Mi. Tak tentu arah, dipenuhi rasa bersalah Lalu ingat pesan Umi bahwa Allah gak pernah pergi. Allah membersamai.

Malam ini aku ingin umi. Rasa nyaman saat umi di sini. Meski kita tak banyak bicara hanya duduk berdampingan dengan sedikit cerita menjadi selingan. Aku ingin melihat lagi bagaimana engkau menghadapi masalah yang berganti menghampiri. Tanpa keluh kesah, seperti semuanya mudah.

Aku ingin bertanya mi. Banyak sekali. Aku ingin mohon maaf, atas tak terhitung salah, atas umi yang selalu mengalah.

Aku menangis hanya dengan ingat umi malam ini. Tidak setiap malam seperti ini. Tapi sekarang rasanya sesak sekali.

Sudah lama aku gak ketemu umi dalam mimpi. Sudah lama aku gak duduk termenung mengenang umi. Mungkin aku sudah terbiasa dengan kepergian umi. Tapi bagaimanapun sakitnya rasa rindu, akan lebih sakit jika ia pergi. Akan remuk redam jika rindu tak hadir di sini.

Semoga lapang di sana ya mi. Insya Allah kita jumpa pada salah satu tepi sungai di syurga ya Mi. Entah sungai susu, entah sungai madu. Mungkin di antaranya. Tempat pertemuan kita insya Allah begitu indah ya Mi. Seperti yang umi ceritakan. Seperti yang umi lantunkan dalam ayat-ayat kebenaran.

DSC_5887