Di Tepi Bosporus #4 [Anggia]

Kali ini bukan Ia yang duduk di depanku. Tapi Ia yang lain. Fadlan Imani. Sosok yang murattalnya kudengar sehari-hari. Tak kusangka Kak Fadlan merupakan putra dari teman Bunda. Tak kusangka pula hari ini dapat berjumpa.

.
“Kak Zayn, maaf ya hari ini aku sama Ghazi gak bisa ke Paşalimanı. Mesti temui tamu teman Bunda di Kocasinan Kafe, Sirinevler. Hmm jadinya jawabanku juga tertunda nih Kak.”

Begitu pesanku padanya tadi pagi. Entah mengapa begitu detail berita itu kubagi. Apa alam bawah sadarku ingin Ia yang datang dan duduk di depanku kini?

“Oh ya, Ghazi sudah bilang. Gapapa kok, ga buru-buru juga.”

Sebenarnya sudah kubilang pada Bunda. Bahwa Kak Zayn ingin aku menikah dengannya. Sudah kubilang juga bahwa aku cenderung padanya.

“Kamu sudah istikharah Sayang? Coba temui dulu Fadlan, Bunda pilihkan untukmu gak asal-asalan. Kamu bisa ngobrol dengan Fadlan, dengan orang tuanya. Setelah itu baru kamu pikirkan lagi Sayang. Istikharah juga agar pilihanmu Allah yang mantapkan.”

Sedari tadi Ghazi lancar berbincang dengan Kak Fadlan. Sementara aku banyak ditanya oleh Tante Tian dan Om Salis mama papanya  Sesekali Kak Fadlan juga mengajakku bicara. Jelas sekali Kak Fadlan pribadi yang supel dan ramah. Pada awal pertemuan Kak Fadlan sempat tilawah, dan ternyata secara langsung terdengar lebih indah. 

“Ghazi tahun depan lulus ya? Kalau Anggia tahun depannya lagi?” Tiba-tiba Tante Tian bertanya.

“Insya Allah Tante,” Ghazi yang jawab.

“Saya rencana mau ambil S3 di sini. Kayaknya lebih enak kalau ada yang menemani,” kali ini Kak Fadlan. Santai saja, sambil tersenyum penuh makna.

Bukan hanya aku, Ghazi juga terlihat kikuk mendengarnya.

“Semoga ketemu yang cocok ya Bang Fadlan.”

Ah terima kasih Ghazi, aku jadi lepas dari kewajiban berbasa-basi.

Sebelum berpisah, Tante Tian mengajakku bicara berdua.

“Anggia, ini Fadlan serius cari istri. Kalau kamu merasa cocok, kabari Bundamu atau Tante ya. Kalau positif insya Allah nanti Fadlan datang ke ayahmu. Tante akan senang sekali dapat mantu kayak kamu.”

“Insya Allah nanti Anggia kabari lewat Bunda ya Tante. Terima kasih banyak ya Tan.”

Di dalam Tramvay, sepanjang perjalanan pulang dari Sirinevler ke Beyazit, pikiranku mengembara. Terus terang aku seperti tidak menemukan cela pada Kak Fadlan, meski pada Kak Zayn hatiku lebih dulu ditambatkan. 

Kusadari bahwa aku mesti mencoba mengesampingkan perasaanku pada Kak Zayn. Sebab Kak Fadlan, bukan sekedar punya banyak penggemar, tapi memang pandai mengajinya, luas pergaulannya, baik wawasan agamanya, dan menyenangkan pembawaanya. Ah, aku benar-benar harus berserah dengan istikharah. 

“Bingung ya?” Pertanyaan Ghazi menyadarkanku dari lamunan.

“Banget. Dalam waktu berdekatan gini Ghazii..”

“Dua-duanya kayaknya serius mau langsung ke ayah juga ya kalau Lo udah oke. Lo mesti bersyukur Anggia, yang datang orang-orang baik.”

“Itulah. Menurut kamu aku pilih siapa Ghazi?”

Ghazi nyengir. Kutunggu jawabannya, tapi dia diam saja. 

Kami turun di Halte Beyazit. Lalu berjalan, masih dalam diam. Asramaku dan Flat Ghazi cukup dekat, sehingga Ghazi mengantarku terlebih dulu.

“Mau kering kentang gak? Stok yang dari Om Hari masih banyak.” Ujarku saat kami sampai di depan asrama.

“Gak usah, buat Lo aja. Di Flat masih ada rendang, bikinan Zayn.”

Debar jantungku masih saja tak menentu mendengar namanya.

“Gue lanjut ya. Lo santai aja tentang ini, gak perlu buru-buru jawab.”

Baru tiga langkah Gazi meninggalkanku, dia kembali menoleh.

“Ohya, fyi aja nih ya..”

“Apa?”

“Zayn juga pandai mengaji”

📷: Salma Salimah

Leave a comment