Yang sempat terlipat

Mungkin di blog ini saya terlalu sering bercerita yang ada kaitannya dengan ibu saya. Semoga pemirsa tidak bosan ehehe (mohon maaf pemirsa yang mana Kar? 😂)

Habis, seperti yang pernah saya bilang, mood paling baik saya untuk menulis adalah saat sedih. Sedih aja bukan sedih banget, dan kalau ingat umi kan otomatis jadi sedih gitu.

Suatu ketika (belum lama sih) saat dalam perjalanan menuju Stasiun Gambir, saya dihujani kembali oleh kenangan tentang umi.

Gambir.

Bisa dibilang adalah tempat yang paling gampang bikin saya mengenangnya.

Punya umi yang seorang perempuan bekerja dengan anak dan amanah super banyak tentu momen berdua dengannya adalah kala yang langka.

Nah, di Gambir ini saya biasanya bisa dapat Quality time bareng umi.

Waktu saya kuliah di Jogja, umi sering sekali menyempatkan waktu untuk antar saya ke Stasiun Gambir. Kadang juga jemput di sana.

Dulu pengantar masih bisa ikut ke peron dan mengantar sampai ke dalam kereta. Biasanya umi akan belikan saya bekal, kadang roti Holland Bakery kadang Hokben, agar dalam 8-10 jam perjalanan saya gak kelaparan. Lalu umi antar saya ke dalam kereta. Menyapa siapapun yang duduk di sebelah saya dan dengan nada akrab bilang “Titip anak saya ya,” kalau yang di sebelah saya ibu-ibu yang umi nilai cukup meyakinkan.

Setelah pengantar tidak bisa ikut ke peron, biasanya kami datang lebih dulu ke stasiun. Berbincang santai-serius- santai di Kedai Donat. Kedai di mana suatu hari kami pernah berada dalam ruang emosi yang begitu kental.

Dan begitulah. Ketika akhirnya sampai di Gambir lagi Jumat lalu, kenangan-kenangan kembali menyerbu. Meski banyak yang berubah, Gambir masih memberi rasa yang sama. Bagi saya, tempat ini akan selalu istimewa.

Di tempat ini

Rindu yang sempat kulipat

Terbuka lagi

Mengetuk lagi

Memaksa hadir lagi

Pada tepi-tepi hati

Leave a comment