Another Letter

Dan ini sebutir pasir dari masa itu. Saat kita berdiri berdampingan di senja sendu. Matahari hendak terbenam, Parangtritis.

Aku kadang kehilangan pegangangan Mi. Tak tentu arah, dipenuhi rasa bersalah Lalu ingat pesan Umi bahwa Allah gak pernah pergi. Allah membersamai.

Malam ini aku ingin umi. Rasa nyaman saat umi di sini. Meski kita tak banyak bicara hanya duduk berdampingan dengan sedikit cerita menjadi selingan. Aku ingin melihat lagi bagaimana engkau menghadapi masalah yang berganti menghampiri. Tanpa keluh kesah, seperti semuanya mudah.

Aku ingin bertanya mi. Banyak sekali. Aku ingin mohon maaf, atas tak terhitung salah, atas umi yang selalu mengalah.

Aku menangis hanya dengan ingat umi malam ini. Tidak setiap malam seperti ini. Tapi sekarang rasanya sesak sekali.

Sudah lama aku gak ketemu umi dalam mimpi. Sudah lama aku gak duduk termenung mengenang umi. Mungkin aku sudah terbiasa dengan kepergian umi. Tapi bagaimanapun sakitnya rasa rindu, akan lebih sakit jika ia pergi. Akan remuk redam jika rindu tak hadir di sini.

Semoga lapang di sana ya mi. Insya Allah kita jumpa pada salah satu tepi sungai di syurga ya Mi. Entah sungai susu, entah sungai madu. Mungkin di antaranya. Tempat pertemuan kita insya Allah begitu indah ya Mi. Seperti yang umi ceritakan. Seperti yang umi lantunkan dalam ayat-ayat kebenaran.

DSC_5887

Leave a comment